Rabu 23 Sep 2020 17:36 WIB

Antropologi Makan Orang Arab

Porsi makan orang Arab dikenal besar.

Antropologi Makan Orang Arab . Seorang pedagang menyiapkan jajanan shawarma di tokonya sekitar Masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi.
Foto:

Biasanya orang Indonesia baru sampai pendahuluan sudah merasa kenyang. Menu utama (main course) hanya dimakan sedikit saja. Dan makanan penutup hanya dilihat-lihat saja: perut terasa sudah kenyang, tidak lagi menerima masukan.

Maka tidak heran jika orang Indonesia makan di restoran atau rumah makan biasanya langsung tembak pesan main course  dan tak lupa nasi. Walhasil, soup, salad, roti, dan hummus dilewati begitu saja. Di samping khawatir tidak termakan juga agar lebih lebih hemat alias irit. Apalagi kantongnya juga pas-pasan Hehehe…

Tak heran jika dibandingkan orang Arab, postur orang-orang Indonesia terhitung jauh lebih kecil dan pendek. Laki-laki Arab tinggi dan besar, rambut lebat, berjampang dan berjenggot, dan berbulu lebat di sekujur tubuh. Tangan, kaki, dada mereka berbulu sangat lebat. Sementara perempuan Arab berkulut putih, hidung panjang dan mancung, rambut panjang lebat dan tebal: ada yang hitam, merah, dan pirang. Tinggi laki-laki dan perempuan Arab jauh di atas laki-laki dan perempuan Indonesia.

Ketika bersembahyang di masjid di Lebanon kelihatan betul perbedaan postur orang Arab dan orang Indonesia. Suara mereka juga berat dan keras. Jika mengucapkan “amin” ketika khatib berdoa terdengar suaranya keras, berat, kompak, serempak, dan mantap.

Saya jarang melihat jamaah shalat jumat yang tertidur waktu khutbah disampaikan khatib. Saya menangkap kesan mereka sehat dan tegap sepanjang 10-20 menit mendengarkan khutbah dan shalat Jumat. Ada terkesan secara fisik mereka kuat dengan stamina yang tinggi.

 Demikian juga dalam jamaah tarawih di bukan Ramadhan. Imam shalat tarwih dari awal malam pertama sampai akhir Ramadhan tidak ada kesan menurun. Stabil sepanjang malam shalat tarawih. Padahal shalat tarwih mereka membaca surat-surat panjang dalam Al-Quran dengan jumlah rakaat yang begitu banyak. Tak heran jika di tarawih malam 27 Ramadhan para Imam sudah mengkhatamkan Al-Quran yang 30 juz itu.

You are what you eat

Saya rasa stamina tubuh yang tinggi itu akibat makan mereka yang volumenya besar yang sudah menjadi kebiasaan anak-anak Arab sejak kecil. Saya rasa kesemuanya itu hasil dari makan mereka yang ukurannya besar dan banyak, sekaligus bermutu tinggi.

Tenaga dan energi yang dimiliki manusia berasal dari makanan. Jika makannya banyak dan bermutu, maka tenaga dan energinya juga besar dan kuat. Tenaga dan energi adalah hasil dari makan. Makan banyak tenaga banyak, makan sedikit tenaga sedikit.

Tentu jika dibarengi dengan kualitas makanan yang diasupnya. Sangatlah kecil kemungkinannya orang yang makannya sedikit akan memiliki tenaga dan stamina yang besar. You are what you eat: Anda adalah apa yang Anda makan.

Meski you are what you eat tetapi makan (eating) adalah persoalan kebudayaan. Makanan Arab merupakan kebudayaan Arab, makanan orang Barat hasil kebudayaan Barat, makanan orang kutub kebudayaan kutub, makanan orang pantai kebudayaan pantai, makanan petani di pedesaan adalah kebudayaan petani.

Menurut orang sekuler yang tidak percaya Tuhan, alam menyediakan bahan-bahan makanan bagi penduduknya yang tinggal di alamnya itu. Bagi orang yang bertuhan, Tuhan memang menyediakan semua bahan makanan di sekitar orang itu bertempat tinggal. Dan makanan yang paling baik bagi dirinya adalah yang paling dekat dirinya pula.

Dalam konteks dan perspektif ini maka mengubah pola dan jenis makan suatu bangsa tidaklah mudah. Tak heran meski telah tinggal lama di luar negeri, orang Indonesia tidak gampang meninggalkan nasi, sayur lodeh, ikan asin, tempe, dan last but not least sambal!  Pasalnya, mengubah pola dan jenis makanan memang memerlukan strategi kebudayaan. Semua ini dikaji dalam ilmu antropologi makanan, alias The Anthropology of Food and Eating!

Untuk memperkuat SDM tampaknya Indonesia perlu merumuskan antropologi makan (food anthhropology) yang baru. Anthropology of Food yang bukan hanya mengenyangkan, melainkan juga makanan yang menopang pertumbuhan fisik generasi baru yang lebih kuat dan berstamina tinggi. Dominasi makanan karbohidrat terutama nasi yang terlalu banyak perlu dikurangi dan digantikan dengan ikan, daging, dan makanan-makanan lain yang lebih tinggi proteinnya.

 

Saya yakin jika kita memiliki antropologi makan, antropologi Boga, atau anthropology of food yang baru, meminjam istilah Bapak Antropologi of food, father of food anthropology, Sidney W. Mintz, pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang unggul akan lebih mudah dicapai. Tentu makanan hanyalah salah satu faktor saja bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia. Semoga.

https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/09/14/antropologi-makan-orang-arab/

 

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement