Sebelum serius mendalami ilmu, al-Haytham sempat bekerja sebagai pegawai pemerintah sampai diangkat menjadi pejabat pemerintahan yang membawahi Basra dan sekitarnya. Jabatan ini bertentangan dengan minatnya terhadap ilmu.
Ia pun memutuskan mengundurkan diri dan merantau untuk memperdalam ilmu. Ia pun pergi ke Ahwaz, Baghdad, dan terakhir hijrah ke Mesir.
Ia juga pernah ke Spanyol. Pemikirannya dipengaruhi oleh Aristoteles (384 SM–322 SM), Euclid yang hidup sekitar abad ke-4 SM, Ptolemy (90–168), ilmuwan Fisika Yunani Galen (129–200), Al-Kindi (801–873), Banu Musa yang hidup di abad ke-9, Thabit ibn Qurra (826–901), Ibrahim ibn Sinan (908–946), Al-Quhi, dan Ibn Sahl (940–1000).
Ketika al-Haytham tiba di Mesir, bertepatan dengan masa khalifah al-Hakim, sekitar awal abad ke-11. Ia belajar secara otodidak dengan menerjemahkan buku-buku, terutama matematika dan ilmu falak.
Ia pun tertantang mengerjakan proyek bendungan sungai Nil. Namun, setelah ia melakukan survei dan perhitungan, ternyata ia tak mampu melanjutkan proyek yang telah disepakati bersama Khalifah.
Ia pun pura-pura gila untuk menghindari kemarahan Khalifah karena orang gila dilindungi hukum Islam. Karenanya, ia diasingkan dan ditahan selama 10 tahun, layaknya tahanan rumah sampai al-Hakim wafat tahun 1011.
Selama di pengasingan, al-Haytham merasa bosan, jauh dari hiruk-pikuk diskusi ilmiah. Namun, dalam kebosanan tersebut ia justru menemukan konsep tentang cahaya dan proses mata melihat suatu objek.
Dia melakukan eksperimen menggunakan ruang gelap yang disebut al-Baith al-Muslim (Latin: camera obscura) yang kemudian menjadi dasar fotografi. Ia melakukan eksperimen berulang kali dan hasilnya ia menemukan cahaya dalam perjalanannya membentuk garis-garis lurus sejajar dan mata dapat melihat objek apabila cahaya tersebut masuk ke dalam mata.
Ia adalah ilmuwan pertama yang mengidentifikasi bagian-bagian mata seperti iris, kornea, dan retina, sekaligus menjelaskan konsep penglihatan. Untuk memperdalam temuannya, ia melakukan penelitian lebih lanjut tentang penggunaan berbagai lensa dan cermin, baik datar, sperik, parabolik, silinder, konvek, maupun konkaf.
Hasil eksperimennya adalah objek dapat dilihat karena pemantulan cahaya. Dan 500 tahun kemudian, ilmuwan Belanda Willebrord Snellius (1580–1626) mengenalkan konsep ini yang dikenal dengan Hukum Snellius.