REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sifat pelit dalam Islam dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama. Pelit merupakan sikap yang menahan diri dari memberikan kebaikan kepada orang lain, baik itu dalam bentuk harta, waktu, atau tenaga.
Dalam Islam, sifat pelit dianggap sebagai salah satu penyebab munculnya keburukan dalam masyarakat. Rasulullah SAW sendiri telah memberikan banyak peringatan dan nasihat tentang bahaya pelit.
Rasulullah SAW juga mengingatkan umatnya bahwa harta yang kita miliki sebenarnya hanyalah titipan dari Allah SWT dan kita harus bersedia memberikannya kepada sesama sesuai dengan kebutuhan. Hadis yang menyatakan "Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah" menggambarkan pentingnya memberi dan berbagi.
Allah ta’ala berfirman
وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr: 9).
Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda:
وَلاَ يَجْتَمِعُ الشُّحُّ وَالإِيمَانُ فِي قَلْبِ عَبْدٍ أَبَدًا
Tidak akan berkumpul sifat kikir dan keimanan dalam hati seorang hamba selama-lamanya. (HR. An-Nasa’i).
Sifat pelit merupakan sikap tercela, bisa terjadi kepada diri sendiri maupun orang lain.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah pernah berkata:
ﻭﺃﺷﺪ ﺩﺭﺟﺎﺕ ﺍﻟﺒﺨﻞ ﺃﻥ ﻳﺒﺨﻞ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ ﻣﻊ ﺍﻟﺤﺎﺟﺔ، ﻓﻜﻢ ﻣﻦ ﺑﺨﻴﻞٍ ﻳﻤﺴﻚ ﺍﻟﻤﺎﻝ، ﻭﻳﻤﺮﺽ ﻓﻼ ﻳﺘﺪﺍﻭﻯ، ﻭﻳﺸﺘﻬﻲ ﺍﻟﺸﻬﻮﺓ ﻓﻴﻤﻨﻌﻪ ﻣﻨﻬﺎ ﺍﻟﺒﺨﻞ
Derajat pelit yang paling parah adalah pelit terhadap diri sendiri, padahal ia sedang membutuhkan. Betapa banyak manusia yang menahan hartanya (tidak dibelanjakan), semisal ketika sakit ia tidak berobat. Ia sedang berhajat (punya kebutuhan) terhadap sesuatu, tetapi ia tahan karena pelit. (Lihat Mukhtasar Minhaj. Al-Qashidin, hal. 205).
Pelit terhadap diri sendiri merupakan sikap yang seringkali merugikan. Ketika seseorang menjadi terlalu pelit terhadap dirinya sendiri, hal tersebut dapat menghambat pertumbuhan pribadi, kesejahteraan emosional, dan interaksi sosialnya.
Orang yang pelit menurut perkataan para ulama,
إِنَّ الْبَخِيْلَ يَعِيْشُ عَيْشَ الْفُقَرَاءِ وَيُحَاسَبُ حِسَابَ الْأَغْنِيَاءِ
Sesungguhnya orang pelit itu hidup di dunia seperti orang miskin, tetapi hisabnya di akhirat seperti orang kaya.
Selain pelit terhadap diri sendiri, pelit terhadap orang lain juga bisa merugikan dan termasuk sikap tercela. Padahal, Allah SWT memberinya rezeki bukan untuk dijadikan sebagai bahan kesombongan. Tetapi, alangkah baiknya dibagikan kepada sesama yang membutuhkan, sedekah, sehingga menjadi ladang pahala bagi dirinya.
Allah beri ancaman dengan siksa terhadap orang yang pelit, dalam firmannya yaitu:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُون
Orang-orang yang menimbun emas dan perak (harta) dan tidak menginfakkannya (mengeluarkan zakatnya) di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih. (Ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung, dan punggung mereka (seraya malaikat berkata) kepada mereka, ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu. (QS. At-Taubah: 34-35).
Dengan demikian, sifat pelit baik terhadap diri sendiri maupun orang lain merupakan sikap yang tercela dan bisa merugikan. Allah SWT memerintahkan umat Muslim untuk memanfaatkan harta yang dimiliki dengan sebaik-baiknya. Mulai dari sedekah, zakat, memberi makan orang miskin, saling membantu sama lain, sehingga harta yang kita punya bisa menjadi pahala dan keberkahan.