REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ada perbedaan yang sangat jauh antara sikap hemat dan pelit. Sebagaimana sifat rendah hati (tawadhu) yang merupakan akhlak terpuji berbeda dengan rendah diri yang merupakan akhlak tercela meskipun bentuk keduanya serupa.
Juga, sebagaimana kewibawaan yang merupakan perilaku terpuji berbeda dengan kesombongan yang merupakan perilaku tercela, meskipun bentuk keduanya sama.
Demikian halnya dengan sikap hemat. Ia merupakan perilaku kenabian yang mulia. Bahkan ia termasuk sumber tatanan hikmah Ilahi yang berlaku di alam ini.
Ia tidak ada kaitannya dengan sikap pelit yang merupakan gabungan dari kerendahan, kebakhilan, keserakahan, dan ketamakan. Bahkan tidak ada hubungan sama sekali antara keduanya. Yang ada hanyalah kemiripan lahiriah semata.
Dalam karyanya yang berjudul Al-Lama'at, Badiuzzaman Said Nursi lalu menceritakan kisah seorang putra dari Khalifah Umar bin Khattab, yaitu Abdullah.
Pada suatu hari, anak sulung khalifah Umar itu terlibat dalam sebuah tawar-menawar yang cukup alot ketika melakukan transaksi di pasar hanya karena uang yang nilainya tidak lebih dari seribu rupiah.
Hal itu dilakukan untuk menjaga prinsip hemat, serta untuk menjaga sifat amanah dan istikamah yang merupakan modal sebuah bisnis.
Pada saat itu, ada seorang sahabat lain yang melihatnya. Sahabat tersebut mengira bahwa Abdullah bin Umar memiliki sifat pelit sehingga hal itu aneh baginya.
Sebab, bagaimana mungkin sifat tersebut melekat pada diri Abdullah bin Umar, putra Amirul Mukminin dan putra seorang khalifah.
Maka, sahabat itu pun membuntuti Abdullah hingga ke rumahnya untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Tidak lama kemudian, ia saksikan Abdullah justru sedang bersama seorang fakir di depan pintu rumah. Mereka berdua saling berbicara dengan santun dan ramah.
Setelah itu, Abdullah keluar dari pintu yang kedua dan berbicara dengan seorang fakir lainnya di sana. Hal ini tentu saja membuat sahabat tadi semakin penasaran. Lalu ia pun segera menemui dua orang fakir tadi guna meminta penjelasan dari mereka,
“Bolehkah aku mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Ibnu Umar kepada kalian berdua?” “Ia telah memberi masing-masing kami sepotong emas,” jawab keduanya.
Mendengar hal tersebut, ia sangat terkejut sambil berkata, “Subhanallah! Di pasar beliau terlibat dalam perdebatan sengit hanya gara-gara uang senilai seribu rupiah, tapi di rumahnya beliau menyedekahkan ratusan kali lipat kepada dua orang yang sangat membutuhkan secara tulus tanpa ada yang mengetahui.”
Baca juga: 7 Daftar Kontroversi Panji Gumilang Pimpinan Al Zaytun yang tak Pernah Tersentuh
Kemudian sahabat itu beranjak menuju rumah Abdullah bin Umar untuk menanyakan hal itu kepadanya, “Wahai Imam, tolong jelaskan kepadaku misteri ini. Di pasar engkau telah melakukan hal demikian, tetapi di rumah engkau melakukan hal yang berbeda.”
Abdullah menjawab, “Apa yang terjadi di pasar hanyalah wujud dari sikap hemat dan bijak. Aku sengaja melakukan hal tersebut untuk menjaga sifat amanah dan kejujuran sebagai modal utama dalam jual-beli. Ia sama sekali bukan merupakan cerminan dari sifat pelit dan bakhil. Sementara yang terjadi di rumah adalah berasal dari rasa kasihan, simpati, dan kemurahan jiwa. Jadi, yang tadi bukan sikap pelit, dan yang ini bukan sikap berlebihan.” Hal tersebut sebagaimana yang dijelaskan Imam Abu Hanifah, beliau berkata:
لا ﺇﺳﺮﺍﻑ ﻓﻲ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻛﻤﺎ ﻟﺎ ﺧﻴﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﺈﺳﺮﺍﻑ “Tidak ada kata berlebihan pada sebuah kebaikan, dan tidak ada kebaikan pada sesuatu yang berlebihan.”
Maksudnya, berbuat baik kepada orang yang berhak menerimanya tidaklah disebut berlebihan. Sementara berlebihan sama sekali bukan merupakan kebaikan.