REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Allah menciptakan bintang dengan fungsi-fungsinya sebagaimana yang diterangkan dalam Alquran yang jauh dari perbuatan syirik. Lantas bolehkah menjadikan bintang sebagai peramal nasib?
Prof Quraish Shihab dalam Tafsir Al Mishbah menjelaskan, bintang memiliki tiga fungsi yakni menjadi pelontar setan, petunjuk arah bagi manusia, dan menjadi hiasan langit. Atas dasar ketiga fungsi tadi sebagaimana yang ada dalam hadits, kata Prof Quraish, jika ada yang memfungsikan bintang selain dari ketiga yang disebut di atas, maka fungsi itu harus dilihat kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip agama.
Dahulu, orang percaya bahwa bintang-bintang dan benda-benda langit adalah dewa-dewa yang mempunyai pengaruh pada bumi dan isinya. Kemudian, para peramal membuat semacam peta bagi setiap orang sesuai dengan posisi bintang-bintang saat kelahirannya.
Sebab menurut mereka, posisi posisi bintang dapat mempengaruhi sifat dan pembawaannya bahkan menentukan peristiwa-peristiwa yang dialaminya serta menentukan pula saat kematiannya. Dan masyarakat Arab di masa jahiliyah menurut beliau juga mempercayai hal ini.
Ketika Islam datang, Islam tidak merestui pendapat tersebut. Karena itu ilmu perbintangan (astrologi bukan astronomi) dimasukkan oleh Nabi sebagai bagian dari ilmu sihir.
Dalam sebuah hadis riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang mempelajari satu ilmu dari bintang-bintang (astrologi), maka dia telah mempelajari satu bagian dari sihir. Sihirnya akan bertambah dengan berambahnya ilmu perbintangan itu."
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Malik, dan Imam An-Nasa’i dijelaskan, sahabat Nabi yakni Zain bin Khalid Al-Juhani pernah berkata, “Rasulullah SAW mengimami kami sholat subuh di Hudaibiyah setelah pada malamnya hujan turun. Seusai sholat, beliau mengarah kepada hadirin dan bersabda: tahukah kamu sekalian apa yang difirmankan (Allah Sang Pemelihara) kepada kamu?”
Maka mereka pun menjawab...