Bayar Utang dengan Zakat
Menurut Kiai Kiki kebolehan membayarkan utang almarhum dengan zakat memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan. Yang membolehkan karena sesuai arah ayat “al-gharim” dengan tanpa menyebut spesifikasi orang hidup atau mati.
Seperti yang tertera di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab karya Imam An-Nawawi:
ـ (فَرْعٌ) لَوْ مَاتَ رَجُلٌ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ وَلَا تِرْكَةَ لَهُ هَلْ يُقْضَى مِنْ سَهْمِ الْغَارِمِينَ فِيهِ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا صَاحِبُ الْبَيَانِ (أَحَدُهُمَا) لَا يَجُوزُ وَهُوَ قَوْلُ الصَّيْمَرِيِّ وَمَذْهَبُ النَّخَعِيِّ وَأَبِي حَنِيفَةَ وَأَحْمَدَ (وَالثَّانِي) يَجُوزُ لِعُمُومِ الْآيَةِ وَلِأَنَّهُ يَصِحُّ التَّبَرُّعُ بِقَضَاءِ دَيْنِهِ كَالْحَيِّ وَلَمْ يُرَجِّحْ وَاحِدًا مِنْ الْوَجْهَيْنِ
Artinya: “Jika ada orang meninggal, diamempunyai tanggungan utang sedangkan ia tidak mempunyai aset yang ditinggalkan. Apakah utang boleh dibayarkan dari jatah “gharimin” (orang-orang utang)? Di sini terdapat dua wajah (dua pendapat). Pertama, tidak boleh. Pendapat ini dilontarkan oleh As-Shaimariy, mazhab An-Nakha’iy, Abu Hanifah dan Ahmad. Kedua, boleh-boleh saja sesuai arah ayat “al-gharim” dengan tanpa menyebut spesifikasi orang hidup atau mati.”
Kiai Kiki mengatakan dirinya lebih mengikuti pendapat yang membolehkan seperti pendapat Ad-Darimi yang membolehkan mengambil jatah zakat untuk melunasi utang almarhum jika memang tidak ada ahli waris yang membayarkannya.
Sementara itu menurut kiai Kiki konsekuensinya bagi almarhum bila utangnya tidak ada yang membayarkan dan atau melunasi utangnya, jika semasa hidupnya dia memang punya niat kuat untuk melunasi utangnya, dia selamat dari hukuman Allah SWT dan Allah SWT sendiri yang melunasi utangnya.
Namun sebaliknya, jika semasa hidupnya dia memang tidak mempunyai niat melunasi utangnya atau punya niat untuk merugikan orang yang mengutanginya, Allah SWT membinasakannya atau memberikan hukuman kepadanya karena merupakan perbuatan dosa. Hal ini sesuai hadits dari sahabat Abu Hurairah:
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ
Artinya: “Barangsiapa yang mengambil harta-harta manusia (berutang) dengan niatan ingin melunasinya, Allah akan melunaskannya. Dan barangsiapa yang berutang dengan niat ingin merugikannya, Allah akan membinasakannya.” (HR Imam Bukhari).
Lebih lanjut Kiai Kiki menjelaskan bahwa sudah menjadi kesepakatan ulama bahwa istilah warisan utang tidak ada dalam fiqih. Apabila almarhum meninggalkan tanggungan utang yang banyak dan dia tidak meninggalkan aset cukup, maka ahli waris tidak otomatis berkewajiban membayar utang-utang almarhum. Sehingga tidak ada konsekuensi apapun bagi ahli waris jika tidak mau membayarkan utang almarhum.
Baca juga: 5 Fakta Ini Jelaskan Mengapa Bangsa Romawi Diabadikan dalam Alquran
"Dan konsekuensinya bagi almarhum, seperti yang dijelaskan di atas, bila utangnya tidak ada yang membayarkan dan atau melunasi utangnya, jika semasa hidupnya dia memang punya niat kuat untuk melunasi utangnya, dia selamat dari hukuman Allah SWT dan Allah SWT sendiri yang melunasi utangnya. Namun sebaliknya, jika semasa hidupnya dia memang tidak mempunyai niat melunasi utangnya atau punya niat untuk merugikan orang yang mengutanginya, Allah SWT membinasakannya atau memberikan hukuman kepadanya karena merupakan perbuatan dosa. Hukumannya adalah jiwa si mayat tertahan di alam barzakh sehingga tidak dapat masuk surga," katanya. Hal ini Bedasarkan sebuah hadits;
َبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ “ نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
"Dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda: “Jiwa seorang mukmin itu tertahan oleh sebab uutangnya sampai utang itu dilunasi.” Wallahu'alam