Kamis 31 Aug 2023 20:42 WIB

Memahami Perkembangan Pendidikan dan Wanita dalam Sejarah Islam

Mendidik perempuan telah menjadi prioritas utama dalam Islam.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil
Sejumlah santriwati membaca Alquran braile di dalam masjid di Pesantren Tahfidz Tuna Netra Mahad Saman Darushudur, Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (30/3/2023). Sebanyak 27 santri tuna netra mengikuti pesantren tahfidz Alquran dengan metode pembelajaran menggunakan bunyi-bunyian serta hafalan Alquran selama Bulan Suci Ramadhan 1444 H.
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Sejumlah santriwati membaca Alquran braile di dalam masjid di Pesantren Tahfidz Tuna Netra Mahad Saman Darushudur, Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (30/3/2023). Sebanyak 27 santri tuna netra mengikuti pesantren tahfidz Alquran dengan metode pembelajaran menggunakan bunyi-bunyian serta hafalan Alquran selama Bulan Suci Ramadhan 1444 H.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sepanjang sejarah Islam, mendidik perempuan telah menjadi prioritas utama. Perempuan tidak pernah dipandang tidak mampu memperoleh pengetahuan atau tidak mampu mengajar orang lain.

Preseden untuk hal ini terjadi pada istri Nabi Muhammad sendiri, Aisha. Ia merupakan salah satu ulama terkemuka pada masanya, yang dikenal sebagai guru bagi banyak orang di Madinah setelah wafatnya Nabi.

Baca Juga

Dalam sejarah Islam kemudian juga ditampilkan sejumlah pengaruh perempuan. Perempuan di seluruh dunia Muslim dapat menghadiri ceramah di masjid, bersekolah di madrasah, bahkan dalam banyak kasus mereka menjadi guru.

Salah satu contohnya adalah ulama abad ke-12 Ibnu Asakir, yang paling terkenal dengan bukunya tentang sejarah Damaskus, Tarikh Dimashq. Ia melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu dan belajar di bawah bimbingan 80 guru perempuan yang berbeda.

Perempuan juga berperan besar sebagai pendukung pendidikan. Madrasah formal pertama di dunia Muslim, Universitas al-Karaouine di Fes, didirikan pada tahun 859 oleh seorang saudagar kaya bernama Fatima al-Fihri.

Istri khalifah Abbasiyah Harun al-Rashid, Zubayda, secara pribadi mendanai banyak proyek pembangunan masjid, jalan dan sumur di Hijaz. Hasil pendanaannya ini sangat bermanfaat bagi banyak pelajar yang melakukan perjalanan melalui daerah-daerah tersebut.

Tidak hanya itu, Istri Sultan Ottoman Suleyman, Hurrem Sultan, juga menghibahkan banyak madrasah. Di sisi lain, ia juga melakukan banyak kegiatan amal lainnya seperti rumah sakit, pemandian umum, serta dapur umum.

Selama periode Ayyubiyah di Damaskus tahun 117 hingga 1260 M, sebanyak 26 wakaf keagamaan, termasuk madrasah, masjid dan monumen keagamaan dibangun oleh perempuan.

Berbeda dengan Eropa pada Abad Pertengahan, bahkan hingga tahun 1800-an dan 1900-an, perempuan memainkan peran utama dalam pendidikan Islam pada 1400 tahun terakhir. Alih-alih dipandang sebagai warga negara kelas dua, perempuan justru berperan aktif dalam kehidupan publik, khususnya di bidang pendidikan.

Terkait tradisi madrasah dan bentuk pendidikan Islam klasik, hal ini dinilai masih berlanjut hingga saat ini, meski dalam bentuk yang jauh lebih berkurang. Faktor penentunya adalah perambahan negara-negara Eropa di wilayah Muslim sepanjang tahun 1800an.

Di Kekaisaran Ottoman misalnya, para penasihat sultan sekuler Prancis menganjurkan reformasi menyeluruh dalam sistem pendidikan. Ia memilih untuk menghapus agama dari kurikulum dan hanya mengajarkan ilmu-ilmu sekuler.

Sekolah-sekolah umum kemudian mulai mengajarkan kurikulum Eropa berdasarkan buku-buku Eropa, sebagai pengganti bidang pengetahuan tradisional yang telah diajarkan selama ratusan tahun. Meskipun madrasah Islam tetap ada, tetapi tanpa dukungan pemerintah mereka cenderung kehilangan relevansinya di dunia Muslim modern.

Saat ini, sebagian besar wilayah bekas Kesultanan Utsmaniyah masih menjalankan pendidikannya mengikuti pola Eropa. Misalnya, jurusan apa yang boleh diambil di tingkat universitas bergantung pada bagaimana ia mengerjakan tes standar tertentu di akhir karir sekolah menengah.

Jika seseorang memperoleh nilai tertinggi dalam ujian tersebut, ia dapat mempelajari ilmu-ilmu seperti kedokteran atau teknik. Jika seseorang mendapat nilai di bawah spektrum, maka mereka hanya diperbolehkan mempelajari topik-topik seperti ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam.

Meskipun sistem baru diterapkan di sebagian besar negara Muslim, pendidikan tradisional masih bertahan. Universitas seperti al-Azhar, al-Karaouine dan Darul Uloom di Deoband, India, terus menawarkan kurikulum tradisional yang menyatukan ilmu-ilmu Islam dan sekuler.

Tradisi intelektual seperti ini berakar pada lembaga-lembaga besar di masa lalu, yang melahirkan beberapa ulama terbesar dalam sejarah Islam. Mereka terus menyebarkan risalah dan pengetahuan Islam kepada masyarakat luas.  

Sumber:

https://aboutislam.net/family-life/culture/education-islamic-history/2/

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement