REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam di awal kejayaan yakni di masa Rasulullah SAW memiliki konsep dan sistem ekonomi yang patut dijadikan pelajaran, terutama strategi membangun Kota Madinah. Bagaimana cara Nabi membangun ekonomi Madinah?
Syafii Antonio dalam buku Ensiklopedia Peradaban Islam Madinah menjelaskan, di masa awal fase Madinah, Rasulullah SAW membangun perekonomian Madinah dan menerapkan kebijakan fiskal. Hal pertama yang dilakukan Nabi ketika hijrah ke Madinah adalah membangun masjid.
Sebab masjid tidak hanya difungsikan sebagai tempat ibadah saja, melainkan multifungsi. Di antaranya sebagai tempat jual beli. Keberadaan pasar di dekat masjid ini untuk menyaingi pasar-pasar yang terlanjur didominasi oleh pasar kapitalis Yahudi.
Dalam perkembangan selanjutnya, aktivitas jual beli tidak lagi berada di lingkungan masjid. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga kekhusyukan ibadah. Aktivitas jual beli kemudian difokuskan di pasar yang diberi nama Suqul Anshar yang bermakna Pasar Anshar. Pasar ini dibangun oeh Abdurrahman bin Auf, seorang hartawan yang kaya raya atas arahan Nabi Muhammad SAW.
Pasar ini dikelola 100 persen oleh umat Islam yang berlokasi tidak jauh dari pasar orang-orang Yahudi. Semua orang Islam diimbau untuk berjual beli dan melakukan semua aktivitas perdagangan di pasar itu tanpa bekerja sama sedikitpun dengan Yahudi tanpa terlibat dengan segala produk atau barang mereka.
Dari langkah tersebut terlihat jelas bahwa Rasulullah SAW telah menerapkan pola bisnis dengan persaingan yang sehat. Yakni tanpa menggunakan wewenang dan kekuasaannya untuk menutup pasar Yahudi. Mengingat kedudukan beliau saat itu sebagai seorang pemimpin.
Rasulullah sepenuhnya menyerahkan penilaian kepada masyarakat. Yang mana lama kelamaan roda perekonomian Yahudi yang sudah ratusan tahun berjalan dan berpusat di pasar gulung tikar dan akhirnya menutup pasar mereka.
Tak hanya itu, ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim) antara golongan Muhajirin maupun Anshar sangat ditekankan oleh Rasulullah. Beliau menyadari bahwa kebersamaan, kekeluargaan, dan persaudaraan merupakan salah satu syarat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bukan hanya berguna untuk menggalang kekuatan secara politik saja, tetapi juga dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dari sini terlihat bahwa pemikiran ekonomi Rasulullah orientasi substantifnya yakni untuk kepentingan bersama dan masyarakatlah yang diutamakan.
Prinsip sebesar-besarnya kemakmuran rakya dalam pandangan ekonomi Rasulullah sangat dikedepankan. Implikasi dari pandangan ini adalah perintah Rasulullah SAW untuk saling tolong menolong antarsesama dalam segala aktivitas kehidupan. Terutama dalam tatanan ekonomi.
Hak warisan harta ditinggalkan atas dasar saudara seagama, misalnya tanah kepunyaan Anshar digarap bersama-sama kalangan Muhajirin. Sehingga pada saat itu, sistem al muzara'ah al ijarah yang diterapkan di atas prinsip tolong menolong sangat cocok.
Sebelum Islam hadir di Madinah, masih berlaku sistem muzabanah (membeli kurma basah dengan kurma kering yang masih di atas pohon), muhaqalah (menyewakan kebun dengan pembayaran makanan dalam takaran yang ditentukan), dan mukhabrah (menyewakan kebun atau ladang dengan bayaran 1/3 atau 1/4 hasil panennya). Ketika Islam datang, Nabi melarangnya karena mengandung unsur gharar (spekulasi).
Inilah yang dilakukan Nabi Muhammad sehingga terjadi keseimbangan sosial maupun ekonomi di Madinah.