Ahad 11 Jun 2023 17:00 WIB

Bolehkah Menjual Kulit Hewan Kurban?

Ada sejumlah hadits yang menyinggung soal kulit hewan kurban.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Muhammad Hafil
Pengepul menyortir dan menimbang kulit hewan kurban di Surabaya, Jawa Timur, Ahad (10/7/2022). Kulit hewan kurban itu dibeli dari warga dengan harga Rp7 ribu per kilogram untuk kulit sapi dan Rp30 ribu per lembar untuk kulit kambing.
Foto: ANTARA /Didik Suhartono
Pengepul menyortir dan menimbang kulit hewan kurban di Surabaya, Jawa Timur, Ahad (10/7/2022). Kulit hewan kurban itu dibeli dari warga dengan harga Rp7 ribu per kilogram untuk kulit sapi dan Rp30 ribu per lembar untuk kulit kambing.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hadyu adalah binatang ternak (kambing atau domba, sapi, atau unta) yang disembelih oleh orang yang berhaji dan dihadiahkan kepada orang-orang miskin di Makkah. Daging kurban pun dibagikan kepada orang tidak mampu dan warga sekitar.

Namun, bagaimana dengan bagian lain seperti kulit jika tidak ada yang menerima apakah boleh dijual.

Baca Juga

Pengurus Bidang Dakwah MIUMI Yogjakarta Nanung Danar Dono menyebutkan hadis dari Abu Sa’id berkata, Nabi bersabda:

وَلاَ تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْىِ وَالأَضَاحِىِّ فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا وَلاَ تَبِيعُوهَا

“Janganlah menjual hewan hasil sembelihan hadyu dan sembelian udh-hiyah (kurban).Tetapi makanlah, bersedekahlah dan gunakanlah kulitnya untuk bersenang-senang, tapi jangan kamu menjualnya” (HR. Ahmad no. 16256, 4/15).

Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan bahwa sanad hadis di atas dhaif (lemah). Ibnu Juraij yaitu ‘Abdul Malik bin ‘Abdul ‘Aziz adalah seorang mudallis. Zubaid, yaitu Ibnul Harits Al Yamiy sering meriwayatkan dengan mu’an’an. Zubaid pun tidak pernah bertemu dengan salah seorang sahabat. Sehingga hadits ini dihukumi munqothi’ (sanadnya terputus).

Namun, ada hadis lain terkait menjual kulit hewan kurban,

Dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ

“Barang siapa menjual kulit hasil sembelihan kurban, maka tidak ada kurban baginya” (HR. Al Hakim).

Beliau menyatakan bahwa hadis ini sahih.

Adz Dzahabi menyatakan bahwa dalam hadis ini terdapat Ibnu ‘Ayas yang didhaifkan oleh Abu Daud. 

Menurut Nanung hikmah dari larangan menjual kulit ini adalah semestinya shohibul kurban dan atau panitia tidak menjual kulit (dan kepala) hewan kurban, tapi untuk disedekahkan dan dihadiahkan. Tujuan ibadah kurban adalah untuk taqarub (mendekatkan diri kita kepada Allah SWT), bukan berdagang.

Lalu kulit (dan kepala) hewan kurban dikemanakan?

Kulit tidak boleh dijual lalu uangnya dikembalikan ke shohibul kurban. Karena pastinya akan menambah jumlah jatah (maksimal sepertiga bagian) yang diterima oleh shahibul kurban. Ini jelas tidak sesuai syari'at Islam.

Kulit bisa disedekahkan atau dihibahkan ke lembaga agama atau lembaga sosial, seperti, rumah tahfidz, pesantren, panti asuhan, dan lain-lain.

Meski demikian, tidak sedikit kasus justru hal ini malah merepotkan pihak penerima. Ketika lembaga-lembaga sosial ini menerima kulit satu atau dua lembar dan tidak bisa mengolahnya, kulit justru akan membusuk dan aromanya mengganggu lingkungan.

Namun, mereka tidak menjualnya. Karena lembaga-lembaga ini sering kali kesulitan menjual kulit karena ketika hanya menerima satu atau dua lembar kulit, tidak ada pembeli (pengepul) kulit yang mau datang untuk membeli kulitnya. Alasannya, tidak menguntungkan, datang ke suatu tempat hanya membeli satu atau dua lembar kulit.

Nanung pun menjelaskan jalan keluar untuk masalah ini, pertama, panitia kurban boleh membantu mengkoordinir menjual kulitnya, lalu uang hasil penjualannya baru didistribusikan ke lembaga-lembaga sosial tersebut. Kedua, panitia kurban boleh menjual kulitnya, lalu uang hasil penjualannya disedekahkan kepada warga masyarakat, termasuk fakir miskin.

Hal ini sesuai pendapat Imam Abu Hanifah yang menyebutkan bahwa boleh menjual hasil sembelihan kurban, namun hasil penjualannya harus disedekahkan (Shahih Fiqh Sunnah no. 2/379). Kebolehan menjual kulit ini tentunya dimaksudkan untuk meningkatkan nilai manfaat dari kulit daripada sekedar rusak membusuk karena gagal dijual atau dimanfaatkan dalam bentuk yang lainnya.

Sebagai tambahan keterangan, Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia menjual kulit hewan qurban dan menyedekahkan hasil penjualannya. Imam Ibnu Mundzir meriwayatkan pendapat serupa dari imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih (Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Khiraqi, 9/450-451).

Imam Yahya bin Syaraf an-Nawawi berkata: “Imam Ibnu Mundzir kemudian meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih bahwasanya tidak mengapa menjual kulit hewan qurbannya dan menyedekahkan hasil penjualannya.

Oleh sebab itu, kulit hewan qurban bisa dijual, lalu hasil penjualannya dipakai untuk membeli daging atau hewan hidup (kambing atau domba), lalu hewan disembelih dan dagingnya dibagi ke masyarakat. Pembagian daging ini bisa dalam keadaan masih mentah maupun sudah menjadi masakan.

Teknis pembagiannya bisa dikirim ke warga miskin atau warga diundang ke masjid untuk pengajian (dakwah) sambil menikmati masakan daging, seperti: nasi goreng kambing, nasi biryani daging kambing, tengkleng, tongseng kepala kambing, sate klathak, kicik, dan lain-lain.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement