Rabu 31 May 2023 15:26 WIB

Makanan Pemberian Non-Muslim, Apakah Halal dan Apa Sikap Kita?  

Makanan halal tidak dipengaruhi faktor pemberi selama terkonfirmasi kehalalannya

Rep: A Syalaby Ichsan / Red: Nashih Nashrullah
Pramusaji menyiapkan kotak nasi (ilustrasi). Makanan halal tidak dipengaruhi oleh faktor pemberi selama terkonfirmasi
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pramusaji menyiapkan kotak nasi (ilustrasi). Makanan halal tidak dipengaruhi oleh faktor pemberi selama terkonfirmasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sejatinya, status kehalalan dan keharaman dalam makanan yang hendak dikonsumsi ditentukan oleh dua hal. Keduanya antara lain zat dan cara mendapatkan makanan tersebut. 

Dalam Alquran, seluruh makanan dan minuman dihalalkan kecuali jika terdapat nash yang mengecualikan atau mengharamkan makanan tersebut secara zat. 

Baca Juga

Tidak hanya itu, cara mendapatkan makanan dari rezeki yang kita peroleh pun menjadi syarat krusial lainnya. 

Dalam contoh hukum mengonsumsi makanan dari non-Muslim, boleh dilakukan asalkan zat di dalam makanan tersebut tidak tergolong zat-zat yang diharamkan. 

Selain itu, proses untuk menjadikan makanan itu pun harus dilalui dengan halal. Semisal, apabila makanan yang diberikan ke seorang Muslim itu adalah opor ayam, perlu dipastikan ayamnya ketika disembelih telah melalui proses halal dan Islam. Tak hanya itu, memasak opor ayam tersebut pun tak boleh sembarangan. 

Alat masak yang hendak diguna kan untuk memasak opor ayam tadi juga perlu dipastikan tidak bekas memasak makanan-makanan yang mengandung zat haram. 

Apalagi apabila alat masak tersebut sebelumnya tidak dicuci, sudah dipastikan zat haram dari makanan sebelumnya masih menempel. 

Apabila semua proses tersebut ditempuh secara halal, makanan tersebut dihukumi halal meski dimasak oleh non-Muslim. 

Dalam kitab I'anat at-Thalibin disebutkan, makanan yang dimasak secara halal oleh non-Muslim untuk seorang Muslim dapat dihukumi suci atau halal. 

Baca juga: Mualaf Lourdes Loyola, Sersan Amerika yang Seluruh Keluarga Intinya Ikut Masuk Islam

Ustadz Ahmad Sarwat dari Rumah Fiqih Indonesia menjelaskan, halal haram sebuah makanan dalam Islam diukur dari kaidah-kaidah dan syariat yang telah diatur. 

Dia sepakat bahwa penentuan hukum halal haramnya sebuah makanan ditentukan dari zat dan cara memperolehnya. Untuk itu, apabila kedua hal tadi dapat dipenuhi, sekalipun makanan yang dikonsumsi oleh seorang Muslim itu berasal dari orang yang non-Muslim, hukum memakannya halal dan boleh. 

Sementara untuk proses penyediaan makanan, dia menggarisbawahi, apabila makanan yang diberikan berupa daging, hal itu perlu dilihat dari berbagai aspek.

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement