REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ziarah kubur merupakan salah satu bentuk budaya atau adat istiadat di kalangan masyarakat Indonesia. Biasanya, ziarah kubur dilakukan dengan mengunjungi makam wali, para ulama, dan juga kuburan keluarganya.
Namun, bagaimana hukumnya seorang anak yang muslim berziarah ke makam orang tuanya yang non muslim?
Jawabannya dapat ditemukan di dalam buku dalam buku “Tanya Jawan Fikih Keseharian” karya KH Mahbub Ma’afi. Dia pun menjelaskan tentang awal diperbolehkannya ziarah kubur dalam Islam.
Awalnya, menurut di, berziarah kubur ke makam orang-orang muslim itu dilarang oleh Baginda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tetapi kemudian hal tersebut diperintahkan karena bisa mengingatkan kita akan kematian atau alam akhirat.
Dia mengatakan, mengingat kematian akan menambahkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Lantas bagaimana jika kita menziarahi kuburan yang orang non muslim?
Berdasarkam keterangan yang terdapat dalam kitab Fathul Wahab karya Syaikhul Islam Zakaria Al Anshari, berziarah ke kuburan yang orang non-muslim itu diperbolehkan.
Amma ziyaratu kuburil kuffari fa mubahatun
"Bahwa berziarah ke kuburan orang-orang kafir itu mubah atau diperbolehkan," kata Syekh Zakaria Al Anshari.
Syekh Zakaria membolehkan hal itu sepanjang berziarah ke kuburan orang non-muslim tersebut dilakukan untuk mengingatkan kita akan kematian dan alam akhirat atau i\'tibar (pelajaran) dan peringatan kepada kita akan kematian.
"Jika menziarah kuburan orang non muslim saja diperbolehkan maka logikanya adalah menziarahinya ketika masih hidup itu lebih utama," jelas Kiai Mahbub Ma'afi.
Inilah yang kemudian ditegaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab syarah Muslim-nya, yaitu:
Idza jaazat ziyatuhum ba'dal wafati fafil hayati awula
"Jika boleh menziarahi mereka non muslim setelah meninggal dunia, maka menziarahi mereka ketika masih hidup itu lebih utama." (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, Syahru Shahihi Muslim bin al-Hajjaj)
"Pesan penting yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa perbedaan keyakinan tidak bisa dijadikan alasan untuk memutuskan tali silaturahmi dan persaudaraan kemanusiaan atau yang dikenal dengan ukhuwah Al Basyariah," jelas Kiai Mahbub Ma'afi.