Menurut Kiai Mahbub, hal ini juga pernah dibahas dalam Muktamar ke-5 NU di Pekalongan pada 7 September 1930. Hasil keputusan tersebut membolehkan, tetap makruh, sepanjang tidak ada kemungkinan akan timbulnya bahaya. Keputusan ini didasarkan pada kitab Tuhfah al-Habib.
“Adapun sekadar ketidaksukaan wanita tanpa hal yang dharuri (terpaksa), maka tidak berpengaruh (terhadap sahnya pernikahan). Akan tetapi dimakruhkan bagi walinya untuk mengawinkannya sebagaimana ditegaskan dalam kitab al-Umm. Disunahkan meminta izin kepada gadis jika memang sudah dewasa berdasarkan hadits Muslim: ‘Seorang ayah harus meminta persetujuan dari anaknya yang masih perawan’. Hadis ini dipahami sebagai ‘sunah’ demi menghargai perasaan.”