Rabu 24 May 2023 06:40 WIB

Bagaimana Adab Menentukan dan Menerima Mahar Pernikahan?

Ulama menjelaskan tidak ada batas maksimal dalam mahar pernikahan.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
 Bagaimana Adab Menentukan dan Menerima Mahar Pernikahan? Foto:  Pengantin menyerahkan mahar atau mas kawin dengan uang tunai Rp77 ribu saat melakukan prosesi akad pernikahan pada gelaran akad dan sidang isbat nikah massal gratis di Kecamatan Pahandut, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Senin (15/8/2022). Pemkot Palangka Raya memfasilitasi kegiatan tersebut bertujuan untuk meringankan beban masyarakat kurang mampu dalam mendapatkan legalitas dan administrasi pernikahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Foto: ANTARA/Makna Zaezar
Bagaimana Adab Menentukan dan Menerima Mahar Pernikahan? Foto: Pengantin menyerahkan mahar atau mas kawin dengan uang tunai Rp77 ribu saat melakukan prosesi akad pernikahan pada gelaran akad dan sidang isbat nikah massal gratis di Kecamatan Pahandut, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Senin (15/8/2022). Pemkot Palangka Raya memfasilitasi kegiatan tersebut bertujuan untuk meringankan beban masyarakat kurang mampu dalam mendapatkan legalitas dan administrasi pernikahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dalam Islam, mahar hukumnya wajib diberikan laki-laki kepada perempuan yang akan dinkahi. Lantas bagaimana adab yang baik dalam menentukan, memberikan, dan juga menerima mahar?

Saking wajibnya mahar bagi laki-laki, Allah berfirman dalam Alquran Surah An-Nisa ayat 4, "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya,".

Baca Juga

Terkait mahar, Rasulullah pernah bersabda, "Sebaik-baik wanita ialah yang paling murah maharnya,” (HR. Ahmad, ibnu Hibban, Hakim, dan Baihaqi).

Namun demikian dalam salah satu khutbah pernikahan oleh KH Acep Zarkasyi pada 26 Juni 2021 dijelaskan, meski perempuan dianjurkan untuk menentukan semurah-murahnya mahar, lantas bukan berarti laki-laki enggan memberikan mahar yang mahal. Dalam hadits ini, kata dia, umat Islam perlu memaknainya dengan pemahaman yang lebih luas.

"Artinya apa? Perempuan dianjurkan tidak menganggap pernikahan dengan 'matre', dan laki-laki sebaiknya bersungguh-sungguh untuk memberikan mahar yang terbaik. Kalau keduanya mengikuti ini, maka klop, cocok secara adab, dua-duanya (pasangan calon suami-istri) berakhlak," kata dia.

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid menjelaskan bahwa menurut Imam Syafii, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan ulama-ulama fikih Madinah dari kalangan tabiin menyebut bahwa tidak ada batas maksimal dalam maskawin.

Segala sesuatu yang ada nilainya bisa dijadikan maskawin. Pendapat ini juga dikemukakan Ibnu Wahab, salah seorang murid Imam Malik. 

Sebagian ulama mewajibkan ketentuan batas minimal maskawin, namun kemudian mereka berselisih dalam dua pendapat.

Pertama, pendapat yang dikemukakan oleh Imam Malik berikut murid-muridnya. Kedua, pendapat yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah berikut murid-muridnya.

Kata Imam Malik, maskawin itu minimal seperempat dinar emas, yakni seberat tiga dirham perak atau barang yang senilai dengan harganya. Yaitu seberat tiga dirham perak menurut riwayat yang terkenal.

Menurut riwayat lain, yaitu barang yang senilai dengan salah satu ukuran minimal tadi. Kata Imam Abu Hanifah, maskwain itu minimal sepuluh dirham. Dan juga ada yang berpendapat 40 dirham.

Pangkal silang pendapat soal penentuan maskawin ini ada dua. Pertama, ketidakjelasan apakah fungsi akad nikah sebagai sarana tukar menukar berdasarkan kerelaan menerima ganti, baik sedikit atau banyak, sebagaimana yang berlaku dalam akad jual-beli, atau sebagai suatu ibadah yang sudah ada ketentuannya.

Sebab dari satu aspek, berkat adanya maskawin seorang lelaki dapat memiliki manfaat-manfaat pada seorang wanita untuk selamanya. Sehingga dengan begitu hal ini mirip dengan kompensasi. 

Dan dari aspek yang lain, adanya larangan mengadakan persetujuan untuk menafikan maskawin. Sehingga dengan begitu ini mirip dengan ibadah.

Kedua, adanya pertentangan antara qiyas yang menuntut adanya pembatasan maskawin dengan pengertian sebuah hadis yang tidak menuntut adanya pembatasan. Qiyas yang menuntut adanya pembatasan adalah seperti contoh bahwa pernikahan adalah ibadah, dan setiap ibadah itu sudah ada ketentuan-ketentuannya.

Sementara hadis yang pengertiannya tidak menuntut adanya pembatasan maskawin adalah hadits Sahal bin Sa’ad As-Saidi yang telah disepakati kesahihannya.

"Carilah walah hanya cincin besi.” Hal ini, menurut Ibnu Rusyd, menunjukkan bahwa tidak ada sama sekali minimal tentang maskawin.

Sebab kalau ada, tentu Rasulullah SAW telah menjelaskannya. Sebab tidak mungkin menunda penjelasan ketika sedang sangat dibutuhkan. Adapun tentang qiyas yang dijadikan pedoman oleh para ulama yang mengharuskan adanya pembatasan maskawin, tidak dapat diterima dilihat dari dua aspek. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement