REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan harta, maka harta tersebut tidak bertuan. Lalu Allah SWT menetapkan siapa-siapa saja yang berhak memiliki harta tersebut, dalam hal ini Islam mengenalnya dengan ilmu waris.
Ustaz Ahmad Sarwat dalam buku Haramnya Menunda Pembagian Waris menjelaskan, ada proses dari sejak si pemilik meninggal dunia hingga akhirnya harta itu jadi milik para ahli waris. Masa ini disebut dengan transisi di mana harta itu menjadi status quo yang tidak jelas siapa pemiliknya secara sah.
Sebab pemilik aslinya sudah wafat, namun siapa pemilik berikutnya masih belum ditentukan. Secara hukum, masa transisi ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut atau ditunda-tunda prosesnya. Sebab dalam keadaan seperti itu harta peninggalan almarhum merupakan amanah, utang, berstatus seperti harta amanah.
Alquran menegaskan bahwa orang-orang beriman cirinya adalah bersikap menjaga amanah. Yakni menyampaikan titipan milik orang yang berhak dan haram mengangkanginya dalam bentuk apapun. Sehingga harta almarhun itulah titipan yang harus diserahkan kepada ahli waris.
Dalam Alquran Surah Al-Mukminun ayat 8, Allah berfirman, "Walladzinahum li-amanaatihim wa ahdihim raa'un,". Yang artinya, "Dan orang-orang yang memelihara amanah (yang dipikulnya) dan janjinya,".
Sedangkan dalam perkara proses pembagian waris, menunda-nunda pembagian waris sama saja berkhianat, dan khianat adalah ciri orang munafik. Sebab harta tersebut bukanlah hak si pengatur proses, melainkan hak bagi para ahli waris.
Apabila seseorang meninggal dunia dan hartanya itu berada di tangan orang lain yang bukan ahli warisnya, maka status hartanya itu adalah utang selama ada izin dari pemilik sahnya. Sedangkan utang harus segera dikembalikan. Jika tidak dikembalikan dan sengaja ditunda pembayaran utang itu, maka terdapat ancaman dari Nabi Muhammad Saw, "Mathulul ghaniyyu zhalum,". Yang artinya, "Menunda-nunda membayar utang itu kezhaliman,".