REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sa'id bin Al-Musayyab merupakan salah satu dari para ulama ahli fikih yang tujuh di Madinah. Dia termasuk dalam jajaran Kubbarut Tabiin (tabi’in senior) yang semasa hidupnya, senantiasa bersikap zuhud.
Dikutip dari buku Kisah Para Tabiin oleh Syaikh Abdul Mun'im Al-Hasyimi, Syekh ini meneruskan majelisnya selama puluhan tahun sebagai seorang mufti dan guru, di mana para pengikut dan orang-orang yang mencintainya yang berasal dari penduduk Darul hijrah (Madinah) merasa haus dahaga akan iimunya, begitu juga penduduk kota-kota lainnya, yaitu orang-orang yang datang untuk berkunjung ke taman yang mutia ini dan untuk mengucapkan salam atas Rasulullah ﷺ di Madinah Al-Munawwarah.
Ketika setiap permulaan pasti ada akhirnya, maka tahun-tahun pun telah berialu, kekuatannya telah hilang. Dua sumber kepercayaan telah melemah (pendengaran dan penglihatan), dan Syekh ahli fikih, Sa‘id bin Al-Musayyab, pun sakit parah, maka Nafi’ bin Jubair bin Muth’im datang menjenguknya dan dia dalam keadaan pingsan, lalu Nafi’ bin Jubair berkata, “Hadapkanlah tempat tidurnya ke arah kiblat” Maka mereka pun menghadapkan tempat tidurnya ke arah kiblat.
Lalu ketika dia sadarkan diri, dia berkata, “Siapakah yang memerintahkan kalian untuk menghadapkan tempat tidurku ke arah kiblat? Apakah Nafi’ bin Jubair yang memerintahkan kalian?”
Nafi’ menjawab, “Ya.” Sa’id pun berkata, “Seandainya aku tidak berada di arah kiblat dan di atas agama (islam), maka perubahan arah tempat tidurku yang kalian lakukan ini tidak akan bermanfaat sama sekali bagi diriku.”
Kemudian dia berkata lagi di atas tempat tidurnya dalam keadaan sakit, “Apabila aku meninggal dunia, maka janganlah kalian mendirikan tenda di atas kuburanku, janganlah kalian mengikuti jenazahku dengan api, dan janganlah kalian mengumumkan kematianku kepada siapa pun, cukup bagiku orang yang diberitahu oleh Tuhanku saja, dan janganlah penyair mereka ini ikut mengantarkan jenazahku.”
Lalu dia melanjutkan perkataannya, “Cukup bagiku empat orang saja yang membawaku ke hadapan Tuhanku, dan janganlah jenazahku diikut oleh teriakan orang yang mengatakan tentang diriku apa yang tidak ada di dalam diriku.”
Lalu dia memandang kepada uang dinar yang dimilikinya seraya berkata, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa aku tidak meninggalkannya selain untuk menjaga kehormatan dan agamaku.”
Di antara kerumunan para sahabatnya, ruh ahli fikih ini pergi menghadap Tuhannya. Hal itu terjadi pada masa kekhalifahan Al-Walid bin Abdul Malik di Madinah pada tahun sembilan puluh empat Hijriyyah pada usianya yang ke tujuh puluh lima tahun. Semoga Allah melimpahkan rahmatnya kepada Sa’id bin Al-Musayyab sebagai orang yang banyak mengumpulkan dan meriwayatkan hadits, tepercaya, pemberani, ahli fikih, mufti, saleh dan bertakwa, mulia serta memiliki kedudukan yang tinggi.