REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Orang yang sedang dalam perjalanan (musafir) diberi keringanan dalam melaksanakan sholat, namun bukan berarti boleh meninggalkan sholat. Mengapa Allah memberikan keringanan tersebut?
Allah tidak menyebabkan manusia terjerumus ke dalam kesulitan dan kesusahan dengan disyariatkannya hukum-hukum agama. Ketika seorang Muslim berada dalam kesulitan, Allah SWT pasti memberinya jalan dan keringanan dalam menjalankan agama sehingga hukum-hukum-Nya tetap bisa ditegakkan dan diterima.
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Hajj ayat 78, "Wa maa ja'ala alaikum fiddini min harajin,". Yang artinya, "Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama,".
Imam Syafii dalam Fikih Manhaji menjelaskan perjalanan ibarat sepotong azab. Orang sering kehilangan hidup nyaman dan normal dalam perjalanan. Maka dari itu, Allah SWT banyak sekali memberikan keringanan hukum kepada musafir dan menunjukkan cara agar keringanan itu dapat dimanfaatkan.
Setidaknya, Allah memberikan dua keringanan kepada para musafir dalam melaksanakan sholat. Pertama, pengurangan jumlah rakaat atau yang biasa disebut qashar. Shalat qashar yang empat rakaat, seperti Zuhur, Ashar, dan Isya dapat dilaksanakan dengan dua rakaat.
Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa ayat 101,"Wa idza dharabtum fil-ardhi falaysa alaikum junaahun an taqshuruu minasshalaati,". Yang artinya, "Dan apabila kamu berpergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqashar shalat,".
Kedua, menjadikan dua sholat dapat dikerjakan dalam satu waktu agar musafir memiliki waktu luang yang lebih atau disebut jamak. Shalat jamak terbagi menjadi dua, yakni jamak taqdim dan jamak ta'khir.
Jamak taqdim adalah memajukan sholat yang waktunya di akhir ke waktu sholat yang awal. Sedangkan jamak ta'khir dengan cara memundurkan sholat yang waktunya di awal ke waktu sholat akhir.