REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Agama Islam sangat menganjurkan manusia untuk saling tolong menolong dalam kebaikan. Salah satunya adalah memberikan pinjaman kepada orang yang membutuhkan, lantas bolehkah mengambil keuntungan dari pinjaman tersebut?
Karena sifatnya memberi pertolongan tadi, maka terdapat hukum yang mengikat-mengatur. Dalam buku Konsep Ekonomi dalam Alquran karya Maharati Marfuah dijelaskan, asas utama dari utang-piutang adalah saling menolong dalam kebaikan. Maka mengambil keuntungan dari utang bukanlah hal yang dibenarkan agama.
Alquran juga menganjurkan orang untuk menunggu orang yang berutang jika benar-benar tak mampu. Allah SWT berfirman dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 280, “Wa in kaana dzuu ‘usratin fanazhiratun ila maysaratin wa an tashaddaquu khairun lakum in kuntum ta’lamun,”.
Yang artinya: “Dan jika orang yang (berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan (utang yang diberi), itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui,”.
Dalam Islam pula dikenal istilah riba, dan haram bagi si pemberi utang dan penerima utang memakan riba. Sebab tak sedikit dalil dan juga pendapat ulama yang menyebut bahwa riba sejatinya dapat merugikan, baik secara nilai harta maupun secara ibadah dengan beragam dosa.
Jika bagi orang yang mengutangkan saja terdapat etika atau adab yang harus diperhatikan, apalagi bagi orang yang berutang. Maka, agama juga menyusun beberapa adab yang perlu diperhatikan bagi orang yang berutang.
Salah satunya sebagaimana dijelaskan dalam buku Berilmu Sebelum Berutang karya Muhammad Abdul Wahab dijelaskan. Orang yang berutang sebaiknya mengetahui kapasitas finansial atau sumber penghasilannya yang artinya yakin mampu untuk membayar utangnya. Islam menganjurkan agar umatnya tidak berutang sebelum yakin bahwa yang bersangkutan meyakini mampu melunasinya di kemudian hari.
Berutang tanpa perhitungan matang tidak dibenarkan. Sebab dalam Islam, perkara soal utang-piutang bukanlah hal yang sepele. Utang yang dipinjam sejatinya adalah hak orang lain yang harus dikembalikan.
Menyepelekan pelunasan utang sama saja dengan menyepelekan hak orang lain. Sedangkan urusan antar-sesama manusia adalah urusan yang tidak hanya berhenti di dunia, melainkan perkaranya akan berlanjut ke pengadilan akhirat.
Rasulullah SAW bersabda: “Man akhadza amwala an-nasi yuridu ada-aha addaallahu anhu, wa man akhadza yuridu itlafaha atlafahullahu,”. Yang artinya: “Barangsiapa yang mengambil harta manusia, (dan) ingin melunasinya, niscaya Allah akan melunaskan atasnya dan barangsiapa yang mengambil (dan) ia ingin menghilangkannya niscaya Allah menghilangkannya,”.