Sabtu 25 Mar 2023 05:58 WIB

Pengakuan Mengejutkan Pendeta Evangelis Soal Perlakuan Ottoman Terhadap Gereja Yunani

Penguasa Ottoman tak menutup gereja Orthodox selama berkuasa di Yunani

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi gereja. Penguasa Ottoman tak menutup gereja Orthodox selama berkuasa di Yunani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Sejak fungsinya dipulihkan kembali menjadi masjid pada 24 Juli 2020 lalu —setelah 86 tahun diubah menjadi museum oleh Mustafa Kemal Ataturk—kontroversi Hagia Sophia belum kunjung surut.

Di tengah beragam kontroversi itu, muncul suara lain yang sangat menarik perhatian, yang seolah menggemakan pernyataan pembesar Byzantium dari abad ke-15 silam, beberapa saat sebelum Konstantinopel dibebaskan oleh Sultan Muhammad Alfatih.

Baca Juga

Suara lain itu datangnya bukan dari dunia Islam, tapi justru dari Yunani, negara yang pemerintah dan penduduknya merupakan yang paling kesal dengan pengembalian fungsi Aya sofya menjadi masjid.

Dan, suara itu pun bukan disampaikan orang kebanyakan, kalang an akademisi perguruan tinggi, atau politisi. Tapi, justru dari lidah Evangelos Papanikolaou, seorang pendeta Kristen Orthodox Yunani.

Berkata Evangelos Papanikolaou, "Ada yang berkata 'daripada melihat mitra Latin, lebih baik saya melihat turbannya orang Turki'. Saya tidak ingin melihat keduanya. Tapi, jika terpaksa harus memilih, saya lebih memilih Turki daripada orang Latin." Pernyataan itu antara lain dikutip kantor berita Turki, Anadolu Agency, sedangkan videonya yang berdurasi sekitar dua menit, menyebar luas di media sosial.

Sekadar infomasi, turban maupun mitra adalah penutup kepala. Turban adalah nama tutup kepala khas Turki. Sedangkan mitra adalah tutup kepala mirip mahkota yang biasa dipakai para pemimpin gereja.

Baik Gereja Katolik Latin yang berpusat di Vatican, Gereja Orthodox Timur, Gereja Anglikan, dan gereja-gereja lain di Suriah, Armenia, hingga Koptik- Mesir (Gereja Katolik Timur).

Dalam videonya yang viral, itu, Evangelos Papanikolaou tampak sedang berpidato di mimbar. Terkait Hagia Sophia, Imam Gereja Analipseos —yang terletak di kawasan Rafina, dekat ibukota Yunani, Athena— itu, berkata, "Sekarang Hagia Sophia… yang kalian ratapi keadaannya… terima kasih Tuhan…."

Pendeta berjanggut lebat itu kemudian membuka lembaran arsip, dan berkata dengan nada tinggi, "Sekarang coba katakan, sebelumnya, dalam 24 jam terakhir, berapa jumlah turis yang masuk Hagia Sophia dengan pakaian terbuka? Banyak sekali! Ada yang pakaian dalamnya terlihat, ada yang memakai rok pendek… Karena, itu sebelumnya adalah museum. Dan, dengan kurang ajarnya turis-turis itu masuk ke dalamnya."

Setelah Hagia Sophia kembali menjadi masjid, Evangelos Papanikolaou pun menandaskan, "Namun sekarang, saat masuk ke dalam (Hagia Sophia), anda harus melepaskan alas kaki. Bukankah ini penghormatan? Apakah anda akan memasukinya dengan pakaian terbuka lagi? Tidak! Anda akan memasukinya dengan pakaian yang panjang dan penutup kepala. Jangan kita lihat itu sebagai kutukan, melainkan melihatnya sebagai koreksi."

Alhasil, terhadap orang-orang yang mengatakan bersedih karena Hagia Sophia diubah dari museum menjadi masjid, Evangelos Papanikolaou justru mengatakan, "Seandainya tidak ada orang Turki yang menjaga Hagia Sophia, maka pastilah Hagia Sophia sudah runtuh saat ini. Siapa yang dari dulu merawat bangunan besar ini? Orang Turkilah yang selama ini menjaganya."

Baca juga: Muhammadiyah Resmi Beli Gereja di Spanyol yang Juga Bekas Masjid Era Abbasiyah

Sejak awal khotbahnya, Evangolos Papani kolaou mengatakan, "Di mana ada orang Turki, maka tempat itu akan menjadi lebih baik. Ini memalukan, akan tetapi memang begitu adanya." Pernyataannya yang melawan arus itu, dikontraskannya dengan kondisi ketika Yunani diperintah Raja Otto I, yang justru memperlakukan Kristen Orthodox Yunani secara tidak adil. Evangelos Papanikolaou pun mengukit beberapa kasus.

Dulu, kata dia, di Pulau Kreta (pulau terbesar di Yunani, yang terletak di Laut Mediterania—red), terdapat sistem gereja yang baik. Saat Turki Usmani (Ottoman) menguasai wilayah tersebut, kata dia, orang Turki tidak pernah menutup satu pun gereja di sana, dan semua orang bebas hidup berdasarkan keyakinannya. 

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement