REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dalam Islam terdapat prasangka yang dibolehkan. Prasangka yang dibolehkan adalah prasangka yang diambil dari tanda atau petunjuk yang bisa memberikan pelajaran. Sebab, dengan itulah prasangka bisa mendatangkan kemaslahatan.
Ketika sangkaan tersebut didasari pada tanda atau petunjuk, maka sangkaan tersebut menjadi kuat dan biasanya menjadi benar.
Hal ini dipaparkan dalam 'Syajaratul Ma'arif' karya Imam Izzuddin bin Abdussalam (diterjemahkan Samson Rahman MA dan diterbitkan Pustaka Al-Kautsar).
Imam Izzuddin memaparkan, jika sama sekali tidak menggunakan zhann (sangkaan) karena takut atas sedikitnya dusta atau sedikitnya kerusakan, maka sama saja mengabaikan sekian banyak maslahat yang bisa dihasilkan.
Jika berbuat dengan sangkaan yang sesuai dengan syariat maka akan menghasilkan banyak maslahat meski akan memunculkan sedikit mafsadat (kerusakan).
Puncak rahmat syariat adalah ketika memperoleh sebanyak-banyaknya maslahat meskipun pasti di dalamnya akan terjadi kerusakan yang sedikit.
Orang-orang yang cerdas, akan melakukan sebuah perjalanan jika menyangka atau memperkirakan bahwa mereka bakal mendapatkan keuntungan yang sangat mungkin dicapai dan potensi maslahatnya sangat besar.
Pikiran mereka tidak terpatri pada kerugian atau kerusakan yang kemungkinan terjadinya kecil. Hal ini, sebagaimana yang telah disampaikan, karena mereka berfokus pada masalahat yang besar dan sesuatu yang sangat mungkin dicapai.
"Prasangka tersebut diambil dari dalil syar'i. Seperti prasangka yang didasarkan pada hal-hal zhahir berupa analogi, pernyataan dan kesaksian," kata Imam Izzuddin.
Baca juga: Perang Mahadahsyat akan Terjadi Jelang Turunnya Nabi Isa Pertanda Kiamat Besar?
Termasuk juga prasangka yang diambil dari petunjuk yang bisa diindra, seperti tanda-tanda sucinya wadah, pakaian, dan petunjuk terkait waktu dan kiblat sholat.
Demikian juga prasangka yang didasarkan pada ukuran-ukuran timbangan dan neraca. Prasangka berkaitan dengan ijtihad. Dalam hal ini, Nabi Muhammad SAW bersabda:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
"Jika seorang hakim berijtihad kemudian dia benar dalam ijtihadnya maka dia memperoleh dua pahala dan jika dia salah maka dia dapat satu pahala." (HR Bukhari dan Muslim dari Amr bin Ash). Allah SWT berfirman:
وَعَلَامَاتٍ ۚ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ "Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk." (QS An Nahl ayat 16)