Rabu 02 Nov 2022 22:48 WIB

Perbedaan Antara Manusia dan Hewan Menurut Filsuf Muslim Ibnu Bajjah 

Manusia dan hewan mempunyai perbedaan mendasar dalam pandangan Ibnu Bajjah

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi manusia. Manusia dan hewan mempunyai perbedaan mendasar dalam pandangan Ibnu Bajjah
Foto:

Dalam kitab yang sama, ia juga membahas perihal kehendak sebagai pembeda antara manusia dan hewan. Hal itu dihubungkannya dengan dua jenis nilai, yakni formal dan spekulatif. Ambil contoh, kejujuran. Dalam jagat hewan, kejujuran hanya bernilai formal. 

Sebab, tidak mungkin seekor hewan berbohong. Sementara itu, kejujuran dalam dunia manusia bernilai spekulatif karena ada nya kehendak.

Dengan demikian, sebuah tindak an manusia dapat dinilai jujur, dapat pula sebaliknyatergantung pada kehendak apa di baliknya. 

Seperti al-Farabi, Ibnu Bajjah juga mengulas perihal akal aktif, yakni maujud spiritual yang ber posisi antara Tuhan dan alam materiel.

Penyatuan atau keterhubungan dengan akal aktif itulah yang menjadi prasyarat utama agar keba hagiaan bisa dirasakan manusia. 

Menurut dia, pertalian itu dapat dilakukan dengan menjalani hi dup dalam kesendirian sebaik mungkin. Orang yang melakukannya disebut al-insan al-munfarid, manusia penyendiri, yang diandaikannya berasal dari kalangan filsuf atau juga cendekiawan. 

Dalam Al-Wada' dan Tadbir al-Mutawahhid, ia mengatakan, filsuf yang al-insan al-munfarid dapat hidup dalam suatu negeri tidak sempurna sebuah keadaan yang juga dirumuskan Ibnu Bajjah. 

Dalam konteks demikian, filsuf tersebut cukup berinteraksi dengan kaum ilmuwan, sembari mengasingkan diri dari sikap atau perbuatan yang tidak baik bagi publik, seumpama korupsinya kaum politikus atau elite. 

Baca juga: Ditanya Kiai Marsudi Soal KM 50, Prof Mahfud: Bukan Pelanggaran HAM Berat, Tapi…

Jika si filsuf tidak dapat menemukan sesama ilmuwan atau ulama yang menjauhi sikap-sikap korup, maka sebaiknya ia mengasingkan diri secara total. 

Dirinya tidak berinteraksi sama sekali dengan lingkungan kecuali sekadar untuk memenuhi kebutuhan makan, minum, atau kedaruratan. 

Melalui karyanya itu, Ibnu Bajjah juga menguraikan sebuah utopia, yakni apa yang diyakininya sebagai negara sempurna. Menurut dia, negara yang sempurna adalah yang di dalamnya masyarakat tidak lagi membutuhkan dokter dan hakim.

Adanya kedua profesi itu menandakan bahwa (masyarakat) negara tersebut masih terjangkit penyakit, baik fisik maupun sosial.

 

Kalau adanya dokter dan hakim ternyata tidak mampu menuntaskan atau mengurangi penyakit-penyakit itu, negara tersebut dapat dikatakan tidak sempurna. Lebih parah lagi bila pihakpihak yang seharusnya menyelesaikan masalah justru menjadi bagian dari masalah.   

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement