Oleh : Ustadz Yendri Junaidi Lc MA, dosen STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang, alumni Al-Azhar Mesir
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Tidak ada yang memungkiri kemuliaan ilmu dan para ahlinya. Tidak ada yang menafikan keutamaan ilmu dan para penuntutnya.
Imam Ali bin Abi Thalib ra berkata :
كفى بالعلم شرفا أن يدعيه من لا يحسنه وكفى بالجهل ذما أن يتبرأ منه من هو فيه
“Cukuplah sebagai bukti mulianya ilmu ketika orang yang tidak berilmu mengaku-ngaku berilmu, dan cukuplah sebagai bukti hinanya kebodohan ketika orang yang berada di dalamnya tidak mau mengakuinya.”
Kita bahagia melihat masjid dan mushala ramai oleh para pencari ilmu. Kita bangga melihat media sosial dihiasi dengan berbagai kajian dan diskusi ilmiah.
Tapi semangat dalam mencari ilmu sering kali tidak diiringi dengan semangat dalam memperbaiki akhlak.
Tak jarang ilmu yang dicari hanya digunakan untuk menyorot orang lain, bukan untuk melihat ke dalam diri.
Ilmu yang seyogianya membuat seseorang semakin berhati-hati dalam berucap dan berbuat justru membuatnya sangat ‘berani’ (baca: lancang).
Ilmu yang semestinya membuatnya lebih menerima perbedaan pendapat malah membuatnya menutup diri dari pendapat yang lain dan hanya merujuk pada sumber yang itu-itu saja.
Akhirnya perdebatan yang dimunculkan di media sosial terasa jauh dari nuansa persaudaraan. Ada kesan ingin saling menjatuhkan.
Tercium aroma saling menjelekkan. Ilmu yang semestinya menenteramkan malah mengeruhkan. Ilmu yang semestinya menyatukan malah memecah-belah. Ilmu yang semestinya menyejukkan malah menyeramkan.
Mengapa bisa demikian? Penyebab utamanya ada pada niat dalam mencari ilmu, dan pilar utama yang jauh lebih penting daripada ilmu itu sendiri sering diabaikan, yaitu adab. Imam Abdullah bin al-Mubarak berkata:
نحن إلى قليل من الأدب أحوج منا إلى كثير من العلم “Kita lebih membutuhkan sedikit adab daripada banyak ilmu.”
Imam Habib bin asy-Syahid berpesan kepada anaknya :
اصحب الفقهاء وتعلم منهم أدبهم فإن ذلك أحب إلى من كثير من الحديث
“Bergaullah dengan para fuqaha dan belajarlah dari adab mereka. Sesungguhnya itu lebih aku sukai daripada banyak hadits yang engkau hafal.”
Imam Ruwaim juga berpesan kepada putranya: يا بني ، اجعل علمك ملحا وأدبك دقيقا “Anakku, jadikan ilmumu garam dan adabmu tepung.”
Baca juga: Dihadapkan 2 Pilihan Agama Besar, Mualaf Anita Yuanita Lebih Memilih Islam
Itulah mengapa hal pertama yang ditanamkan para ulama kepada para penuntut ilmu sebelum mereka mulai belajar adalah adab seorang penuntut ilmu. Adab tersebut tidak hanya tentang adab seorang murid kepada guru, tapi juga adab seorang murid terhadap kitabnya.
Subhanallah… Orang yang diajarkan untuk beradab kepada buku atau kitab, mungkinkah tidak beradab kepada gurunya? Kalau kepada gurunya ia beradab, mungkinkah dia tidak beradab kepada para ulama dulu yang merupakan guru dari guru dari gurunya?
Ini tadzkirah (peringatan) untuk penulis dan siapapun yang menginfakkan usianya untuk ilmu. Adab sebelum ilmu. Agar ilmu menjadi penyejuk. Ilmu menjadi solusi. Ilmu menjadi petunjuk. Ilmu menjadi penyatu.