REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak sedikit umat Islam yang masih bersikap keras dalam masalah pembatas sholat (sutrah). Sebagian lain menganggap remeh masalah ini, lantas yang manakah yang benar?
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam kitab Fikih Shalat menjelaskan, sholat dengan meletakkan sutrah merupakan sunnah muakkadah dan bukan merupakan kewajiban. Jika tidak terdapat suatu benda yang bisa dijadikan sutrah, maka garis pun dapat dijadikan sebagai penggantinya.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Idza shalla ahadukum falyushalli ila sutratin walyadnu minha,". Yang artinya, "Jika salah seorang di antara kalian sholat, maka hendaklah ia sholat dengan (meletakkan) sutrah dan hendaklah dia mendekat kepadanya,".
Ibnu Qayyim mengutip pendapat Ibnu Hajar dalam kitab Bulughul Maram bahwa terdapat riwayat yang menceritakan Rasulullah SAW terkadang sholat tidak menggunakan sutrah. Maka hal ini menunjukkan meletakkan sutrah ketika sholat bukanlah kewajiban.
Bagi orang yang sholat di Masjidil Haram, tidak perlu bagi mereka meletakkan sutrah. Hal ini sebagaimana riwayat Ibnu Zubair bahwasannya dia sholat di Masjidil Haram tanpa menggunakan sutrah.
Sedangkan orang-orang thawaf di depannya, begitu juga terdapat riwayat yang disandarkan kepada Rasulullah SAW yang menunjukkan hal itu, namun dengan sanad yang lemah. Selain riwayat di atas, alasan lainnya adalah karena Masjidil Haram merupakan tempat yang penuh sesak.
Di mana orang tidak mungkin lagi dapat menghindar dari lewat di depan orang yang sedang sholat. Maka dengan kondisi itu gugurlah syariatnya.
Hal serupa juga berlaku pada Masjid Nabawi pada saat kondisi penuh sesak, demikian juga di tempat lainnya. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam Surah At-Taghabun ayat 16, "Fattaqullaha mastatha'tum,". Yang artinya, "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu,".