Rabu 12 Oct 2022 18:17 WIB

'Kehadiran' Rasulullah SAW dalam Pembacaan Maulid Simthu Ad-Durar dan Syaratnya

Pembacaan Simthu Ad-Durar upaya untuk tumbuhkan kecintaan terhadap Rasulullah SAW

Rep: Andrian Saputra/ Red: Nashih Nashrullah
Nabi Muhammad (ilustrasi). Pembacaan Simthu Ad-Durar upaya untuk tumbuhkan kecintaan terhadap Rasulullah SAW
Foto:

Karena itu, Simthu ad-Durar memiliki bentuk syair yang enak dan tidak membosankan untuk diamalkan. Pilihan kata dan bait-baitnya punya padanan yang tepat sesuai konteks. 

Simthu ad-Durar mengandung banyak qasidah sehingga cocok untuk zaman sekarang. Dengan langgam, gaya dan lahjah (dialek)-nya, memicu gairah dalam rangka meningkatkan kecintaan kepada Rasulullah SAW.

Keasyikan dalam melagukannya menjadi inspirasi seperti tarian sufi. Pembaca Simthu ad-Durar seakan terhipnotis dengan keasyikan ingin menghadirkan Rasulullah SAW, tetapi tentu tidak sampai menyimpang. Sebab, itu justru dalam rangka mendekatkan diri kepada Rasulullah SAW.

"Berqasidah itu sesuatu yang menarik dan tidak membosankan. Itulah satu trik metode untuk mengedukasi umat agar bagaimana mencintai sholawat dalam rangka mahabbah kepada Rasulullah SAW. Tentu dengan tata krama, sopan santun, tidak asal-asalan, dan tidak sembarangan," tuturnya.

Di dalam Simthu ad-Durar tersimpan pesan Habib Ali, penulisnya, yang dibaca secara utuh tanpa memotong-motongnya. Dibaca utuh agar berkahnya semakin bertambah. 

Kitab ini juga mengandung doa untuk memperoleh keselamatan, menghadap Allah SWT dalam keadaan husnul khatimah, dan dimudahkan segala urusan, misalnya sebagai pencari ilmu supaya mendapat ilmu yang barokah.

"Rasulullah SAW hadir di tengah-tengah ketika Simthu ad-Durar dibaca. Cuma kadang-kadang kita tidak mengetahui. Maka harus pakai tata krama dan sopan santun," ujar Kiai Mashudi.

Baca juga: Mualaf Sujiman, Pembenci Adzan dan Muslim yang Diperlihatkan Alam Kematian 

Pesan khusus dari Habib Ali bersifat umum dan menyimpan banyak pesan moral. Pesan khususnya yaitu bagaimana setiap Muslim mencintai Rasulullah SAW, baik bagi yang dzuriyah (keturunan) Rasul, seperti habib atau syarifah, maupun yang bukan dzuriyah.

Mereka yang bukan keturunan Rasul bisa menjadi dzuriyah dengan mahabbahnya kepada Nabi Muhammad SAW. Kiai Mashudi menyampaikan, dzuriyah terbagi dua, yaitu dzuriyah binnasab (berdasarkan nasab) seperti habib dan syarifah, dan kedua ialah dzuriyah bissabab (berdasarkan sebab).

 

"Dengan mahabbah yang lebih kepada Rasulullah SAW, bukan hanya ikrar dalam ucapan melainkan juga dalam tindakan dan cara berpikir, maka ini akan dicatat sebagai dzuriyah Rasulullah SAW," jelasnya.    

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement