REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Konten-konten negatif yang memuat ujaran kebencian berbasis SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) dan hoaks marak menyebar di ruang digital. Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), sejak 2018-2021 ada sebanyak 3.640 konten di ruang digital yang dilakukan pemutusan akses (takedown) oleh Kemenkominfo karena menimbulkan kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA. Dan sepanjang 2021, Kemenkominfo juga menindaklanjuti sebanyak 1.170 isu hoaks yang beredar di media sosial.
Di antara kasus ujaran kebencian berbasis SARA atau mengandung penistaan terhadap ajaran agama dalam isi kontenya di media sosial seperti yang dilakukan oleh Joseph Paul Zhang pada 2021 dan Pendeta Saifuddin Ibrahim pada awal 2022. Keduanya melakukan ujaran kebencian dan penistaan terhadap ajaran Agama Islam dan nabi Muhammad SAW. Kendati telah ditetapkan sebagai tersangka, namun Joseph Paul Zhang dan Pendeta Saifuddin Ibrahim yang diketahui keberadaannya di luar negeri hingga kini belum berhasil ditangkap aparat kepolisian. Teranyar pegiat media sosial Eko Kuntadhi dalam media sosial Twitternya mencicitkan cacian, penghinaan dan pelecehan terhadap penceramah ustazah Imaz Fatimatuz Zahra terkait video pengajian yang membahas tafsir Ibnu Katsir surat Ali Imran ayat 14.
Fenomena ujaran kebencian dan hoaks di medsos pun mengkhawatirkan karena dapat merusak karakter dan persatuan dan keharmonisan bangsa. Sejatinya ujaran kebencian, caci maki, hinaan dan hoaks adalah perilaku tercela (akhlak madzmummah) yang dilarang dalam Islam. Alquran surat Al Hujurat ayat 11-12 dengan tegas melarang manusia saling merendahkan, mengolok-olok, mencela, kecurigaan, mencari-cari keburukan orang lain, dan menggunjing. Begitu juga ditegaskan pada surat An Nahl 105 bahwa yang melakukan kebohongan hanyalah orang yang tak beriman terhadap ayat-ayat Allah.
Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang dapat ditemukan pada Sahih Muslim atau pun di kitab At Targhib wa Tarhib telah mewanti-wanti setiap Muslim agar jangan sampai menzalimi, menganiaya dan meremehkan orang lain. Rasulullah memerintahkan untuk menjaga diri, kehormatan dan harta orang lain terlebih sesama Muslim. Tidak boleh seorang Muslim menghina, merendahkan kehormatan orang lain. Dalam kitab Al Kabair syekh Imam Syamsuddin adz-Dzahabi bahkan memasukan perkataan dusta (hoaks), menyakiti dan mencaci maki terlebih kepada sesama Muslim dalam deretan dosa-dosa besar.
Sementara itu pakar media sosial dan Founder Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi mengatakan ujaran kebencian, caci maki, hinaan dan hoaks terjadi paling tinggi membanjiri ruang-ruang media sosial pada gelaran pemilihan presiden 2019. Saat ini ujaran kebencian masih banyak ditemukan di sejumlah platform media sosial. Ismail memperkirakan ujaran kebencian, cacian, hinaan dan hoaks di medsos akan kembali meningkat menjelang Pilpres 2024.
"Seperti yang masih konsisten (hingga saat ini) itu penggunaan kata-kata cebong, kampret, kemudian muncul kadrun. Sebenarnya yang lainnya juga banyak termasuk yang dengan agama. Tapi tak semua bisa termonitor. Saya tak mengerti kapan akan selesai, bisa jadi menjelang 2024 ini naik lagi kalau tidak ada upaya untuk menghentikannya," kata Ismail kepada Republika beberapa hari lalu.
Ismail mencontohkan cicitan Eko Kuntadhi di jejaring Twitter berisi cacian, penghinaan dan pelecehan yang terjadi beberapa waktu lalu telah membuat keonaran digital dan memantik kemarahan banyak pihak terutama dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Menurut Ismail ujaran kebencian berbasis SARA, cacian, hinaan, hingga hoaks terjadi di berbagai platform media sosial. Ujaran kebencian dalam bentuk komentar paling banyak ditemukan di Instagram, Tiktok dan YouTube. Kendati demikian hal itu dilakukan bukan oleh top influencer melainkan akun-akun biasa. Bahkan pelakunya sering menggunakan akun anonim dalam berkomentar. Sementara itu ujaran kebencian, hinaan, cacian dan hoaks di platform Twitter meskipun tidak sebanyak di platform medsos lainnya namun memiliki efek yang sangat besar. Sebab platform tersebut banyak digunakan oleh tokoh-tokoh.
"Twitter itu jauh lebih terbuka. Siapapun bisa mengakses dan mudah dan di situ ada tranding topiknya. Wartawan menunggu di sana dan itu lebih cepat naik jadi untuk viral kemana-mana. Jumlah penggunanya kecil tapi efek yang ditimbulkan besar karena tokoh politik itu ngumpul di Twitter, ada banyak topik bagi influencer," katanya.
Lebih lanjut Ismail mengatakan di medsos terdapat para buzzer yang memiliki agenda tertentu dan konsisten dalam isu tertentu untuk menyerang kelompok lainnya. Sebagian buzzer melakukannya karena untuk mendapatkan uang, namun sebagian lainnya karena ideologi. Menurut Ismail jumlah user para buzzer kecil namun aktivitasnya di medsos sangat sering. Menurut Ismail ujaran kebencian, cacian, hinaan dan hoaks yang terjadi di media sosial menimbulkan polarisasi yang dalam di tengah masyarakat.
"Yang rugi itu publik. Ujaran kebencian itu hanya akan menjadi bahan bakar dari polarisasi. Ujaran kebencian kalau dilakukan satu kelompok dan itu punya pendukung maka akan didukung oleh kelompok itu dan akan dilawan oleh kelompok yang lain. Masing-masing merasa benar sendiri, masing-masing menyerang yang lain, jadi kerugian besar itu ada di masyarakat," katanya.