REPUBLIKA.CO.ID, Pada pertengahan abad ke-13 M, bangsa Mongol menyapu banyak kota di negeri-negeri Muslim. Bahkan, pada 1258 M Baghdad luluh lantak akibat diserbu pasukan Hulagu Khan.
Jatuhnya pusat Kekhalifahan Abbasiyah menanda kan hancurnya tatanan sosial, budaya, dan peradaban Islam yang telah dibina sejak lebih dari 500 tahun. Sebab, penyerangan itu ikut melumatkan berbagai pusat literasi atau pendidikan, seperti madrasah, universitas, dan perpustakaan.
Sesudah runtuhnya Abbasiyah, geliat studi keilmuan--termasuk astronomi--pun ikut terdampak. Husein Heriyanto dalam Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam(2011) menuturkan, dalam kondisi demikian tampil seorang sarjana Muslim yang bernama Nashiruddin al- Thusi (1201-1274 M).
Intelektual Muslim Persia itu sesungguhnya tidak hanya berkiprah di ilmu falak, tetapi juga fisika, matematika, dan filsafat. Di ranah astronomi, dirinya dikenang antara lain sebagai pembuat tabel pergerakan planet-planet yang sangat akurat.
Ia pun mengoreksi berbagai aspek dalam Al magestpeninggalan Ptolemy. Metode matematis nya, yang kini disebut sebagai Pasangan Thusi, menjadi inspirasi bagi ilmuwan Eropa era Renaisans. Bahkan, tokoh sepopuler Nicolaus Copernicus (1473-1543 M) diduga kuat menjiplak metode buatannya itu.
Al-Thusi, sebagaimana warga Abbasiyah umumnya kala itu, turut merasakan penjajahan Mongol walaupun barangkali tidak separah Baghdad. Untuk menjaga keberlangsungan aktivitas intelektual di kawasan Persia, ia pun berdiplomasi dengan Hulagu Khan.
Penakluk dari dataran Asia Tengah itu akhirnya membolehkan kaum sarjana setempat untuk tetap menjalankan kegiatan ilmiahnya. Bahkan, saintis tersebut kemudian diangkat menjadi penasihatnya dalam bidang ilmu perbintangan.
Atas saran al-Thusi, Hulagu mendirikan sebuah lembaga sains dan observatorium di Maraghah, Persia. Ilmuwan Muslim tersebut kemudian diangkat menjadi direktur institusi itu.
Dalam waktu relatif singkat, penulis kitab At-Tadzkirah fii `Ilm al-Hayahitu berhasil mengumpulkan para saintis dari berbagai daerah ke pusat studi itu. Di samping itu, kepemimpinannya juga sukses menyelamatkan 400 ribu buku ilmiah yang sebelumnya berserakan di kota-kota Islam taklukan Mongol.
Menurut Heriyanto, Observatorium Maraghah merupakan lembaga kajian astronomi terbesar di dunia pada masa itu. Reputasinya terkenal karena mutu instrumen-instrumennya serta keahlian orang-orang yang bekerja di dalamnya. Banyak sarjana dan tokoh ilmuwan yang muncul dari lembaga pimpinan al-Thusi itu.
Sebut saja, Quthbuddin al-Syirazi (1236-1311 M)dan Ibnu Syathir (1304-1375 M). Pada akhirnya, mereka dikenal sebagai peletak dasar Mazhab Maraghah dalam disiplin ilmu falak.
Selama memimpin Observatorium Maraghah, al-Thusi menulis banyak karya, baik dalam bahasa Arab maupun Persia. Di antara tulisan-tulisannya adalah ulasan atas siklus teks matematika dan astronomi Yunani yang dihasilkan sejak Euclide hingga Ptolemy.
Sejumlah buah pikirnya pada kemudian hari membuka jalan bagi astronomi modern, terutama dalam kaitannya dengan pergeseran peradigma: dari geosentrisme kepada heliosentrisme.
Umpamanya, model baru yang ditawarkan al-Thusi untuk mengatasi masalah-masalah yang dijumpai dalam sistem Ptolemy. Heriyanto menjelaskan, model baru itu berupaya lebih setia kepada konsepsi sifat bola dari langit dibanding model yang digagas astronom Yunani tersebut.Caranya dengan menempatkan bumi pada pusat geometris bola-bola langit, tidak pada jarak tertentu dari pusat, seperti yang ditemui dalam teori ahli ilmu falak Iskandariah, Mesir, itu.
Al-Thusi menggambarkan dua bola, yang satu berpusat di dalam yang lainnya untuk menerangkan apa yang tampak sebagai gerak planet.Pada kemudian hari, konsep itu dinamakan sebagai Pasangan Thusi (Thusi Couple) oleh akademisi Amerika, ES Kennedy. Gagasan astronom Muslim itu pun konsisten dengan hukum- hukum fisika modern. Model orbit-planet baru itu dikerjakan hingga tuntas oleh muridnya, al- Syirazi dan al-Syathir.