Ahad 11 Sep 2022 01:37 WIB

Awas! Empat Cara Iblis Menipu Pemilik Harta

Iblis senantiasa melancarkan tipu dayanya terhadap manusia.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Ani Nursalikah
Pelit dan mabuk harta (ilustrasi). Awas! Empat Cara Iblis Menipu Pemilik Harta
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pelit dan mabuk harta (ilustrasi). Awas! Empat Cara Iblis Menipu Pemilik Harta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Iblis senantiasa melancarkan tipu dayanya terhadap manusia, termasuk kepada para pemilik harta. Dikutip dari buku Talbis Iblis karya Ibnul Jauzi dengan pentahqiq Syaikh Ali Hasan al-Halabi, iblis menipu pada pemilik harta melalui empat aspek.

Pertama, cara mendapat harta. Sehingga mereka tidak peduli dengan cara apa harta itu didapatkan. Maka praktik ribawi dominan dalam sebagian besar muamalah mereka, hingga mereka begitu akrab dengan riba. Bahkan mayoritas muamalah mereka menyimpang dari ijma.

Baca Juga

Kedua, kikir harta. Di antara mereka ada yang tidak mau mengeluarkan zakat sama sekali karena mengandalkan ampunan. Ada yang mengeluarkan sebagian zakat, namun setelah itu kalah oleh sifat kikir hingga menyangka bahwa zakat yang dikeluarkan pasti membela mereka.

Ada yang mencari akal guna menggugurkan kewajiban zakat, seperti dengan menghibahkan harta untuk orang lain sebelum haul lalu diminta kembali setelahnya. Atau memberi sehelai baju kepada seorang fakir yang dihargai 10 dinar, padahal harga aslinya dua dinar, dan ia pun mengira sudah bebas dari tanggungan.

Atau, mengeluarkan barang berkualitas buruk sebagai pengganti dari barang yang berkualitas baik. Atau, dengan memberikan zakat kepada pekerja yang jasanya dia pergunakan selama setahun penuh, padahal zakat yang dia berikan itu tidak lain merupakan upah si pekerja.

Ada juga yang mengeluarkan zakat sebagaimana mestinya, namun Iblis membisikkan: “Kamu tidak mempunyai tanggungan lagi,” sehingga yang bersangkutan tidak bersedekah karena cinta harta. Akibatnya, dia kehilangan pahala sedekah, dan harta miliknya menjadi milik orang lain.

Ketiga, menumpuk harta. Hingga orang yang banyak harta mengira dirinya itu lebih baik daripada orang miskin. Keutamaan itu diukur berdasarkan keutamaan jiwa pribadi, bukan berdasarkan kebendaan yang dikumpulkan olehnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement