REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Kisah berikut ini menyiratkan pentingnya dua hal, yakni menjaga harapan dan saling menasihati antarsesama Muslim. Pada era tabiin, terdapat seorang alim yang bernama Muhammad bin Ka'b. Ia berasal dari kabilah al-Quradhi yang pada masa Rasulullah SAW terkenal dari Yahudi.
Pada suatu hari, kabar duka menghampirinya. Sahabatnya, al-Qasim bin Muhammad, mengalami musibah, yakni istrinya meninggal dunia. Maka, Ibnu Ka'b pun datang ke rumah kawan dekatnya itu guna bertakziah.
Sesampainya di sana, tampaklah bahwa al-Qasim masih dirundung duka yang besar. Wajahnya lesu. Matanya sembap seperti orang yang telah lama menangis.
Untuk menghiburnya, Ibnu Ka'b menyampaikan sebuah riwayat. Dikisahkan, pada masa dahulu terdapat seorang ahli ibadah dari kalangan Bani Israil. Ulama yang dikenal umat Nabi Musa AS sebagai pakar hukum itu ditinggal wafat istrinya.
Begitu besar kesan dan cinta sang almarhumah kepada alim tersebut. Karena itu, kesedihan yang amat dalam juga dirasakannya sebagai suami. Bahkan, berhari-hari sejak wafatnya sang istri, fakih itu mengurung diri dalam rumahnya. Enggan menemui kaumnya dan bahkan menolak untuk dijenguk siapa pun.
Orang-orang kebingungan. Beberapa kawan terus membujuknya, tetapi tidak berhasil. Padahal, umat masih membutuhkan bimbingan dan majelis ilmu yang selama ini diselenggarakannya.
Hingga suatu hari, datanglah kepadanya seorang perempuan. Setelah kerumunan orang di depan rumah ulama tersebut mereda, wanita itu mengetuk pintu rumah si alim. Dari balik jendela, tampak keponakan sang tuan rumah. “Ada apa, wahai fulanah?” tanyanya.
“Katakanlah kepada syekh, saya datang dari tempat yang jauh untuk menanyakan kepadanya perihal hukum agama. Saya ingin mendapatkan fatwa darinya,” ujar si wanita.
Si keponakan lantas memberitahu kepadanya perihal duka yang dialami ulama tersebut. Termasuk keengganan sang syekh untuk menerima tamu, siapa pun itu. Namun, perempuan tersebut tidak menyerah.