Senin 30 May 2022 14:13 WIB

Hukum Kerja Sama Pengelolaan Tanah untuk Pertanian

Dalam fiqih, muzaraah adalah akad kerja sama pemilik tanah dan petani.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Ani Nursalikah
Seorang petani membajak sawah untuk masa tanam padi kedua di Kabila, Kabupaten Bone Bolango, Selasa (24/5/2022). Hukum Kerja Sama Pengelolaan Tanah untuk Pertanian
Foto:

Ustadz Wahab mengatakan para ulama berbeda pendapat tentang tentang hukum muzaraah atau mukharabah di mana upah yang diterima petani atau penggarap berasal dari bagian hasil panen. Bukan berdasarkan upah yang pasti sebagaimana dalam akad ijarah.

Pertama, sebagian ulama memandang bahwa akad muzaraah adalah akad yang tidak diperbolehkan. Diantara yang berpendapat demikian adalah Imam Abu Hanifah, Zufar, Imam Malik dan Syafiiyah. Hanya saja Imam Abu Hanifah dan Zufar mengharamkannya secara mutlak, sedangkan Imam Malik dam Syafi'iyah memberikan pengecualian bahwa akad muzaraah hukumnya boleh jika tanah atau lahan kosong yang hendak ditanami petani itu terletak diantara kebun yang mana pohonnya telah di-musaqah-kan pada petani atau penggarap yang sah. 

Menurut pandangan pertama ini muzaraah dilarang karena upah penggarapan lahannya majhul sebab tidak ada kepastian hasil yang akan dituai nanti, boleh jadi lahan yang digarap tidak menghasilkan sama sekali pada akhirnya. Upah yang diterima penggarap harus pasti dan diketahui pada saat akad bukan berdasarkan bagian tertentu dan hasil panen yang belum pasti jumlahnya. 

"Ada haditsnya memang, dari Tsabit Ibnu Dhahhak. Nabi itu melarang muzaraah. Kemudian, karena dianggap bahwa upahnya itu tidak pasti. Karena kan berdasar hasil panen, namanya hasil panen tidak pasti. Ini ada ketidak pastian, gharar, sehingga tidak boleh " katanya. 

Kendati demikian terdapat bantahan hadits-hadits larangan muzaraah. Diantaranya bahwa hadits-hadits dianggap tidak bisa untuk menggeneralisir pelarangan akad muzaraah. Sebab beberapa hadits dianggap dhaif, selain itu bila terdapat hadits yang sahih tidak dimaknai sebagai keharaman namun sebatas makruh tanzih. 

Pendapat kedua, diwakili oleh sebagian ulama Malikiyah, Hanabilah, Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan memandang bahwa muzaraah adalah akad yang diperbolehkan. Di antara dalilnya adalah: Barangsiapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya (HR. Bukhari). 

Menurut pendapat kedua ini akad muzaraah dapat diqiyaskan dengan akad mudharabah. Dalam akad mudarabah upah bagi mudharib adalah persentase dari keuntungan usaha yang mana keuntungan tersebut tentu tidak dapat dipastikan dan hal ini tidaklah merusak akad tersebut. Begitupun hal yang sama dalam muzaraah di mana upah yang didapat adalah persentase dari hasil panen yang didapat dari tanah garapan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement