REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketentuan-ketentuan dalam jual beli diatur dalam syariat dan fikih Islam. Beberapa ketentuan itu pada dasarnya adalah melindungi hak konsumen dari perkara yang dapat merugikan.
Salah satu ketentuan dalam jual beli adalah bolehnya mengembalikan barang yang sudah dibeli jika mendapati barangnya ada cacat. Bolehkah mengembalikan barang yang sudah dibeli apabila ditemukan cacat?
Dalam hal ini terdapat dasar atas kebolehan bagi pembeli mengembalikan barang yang cacat dalam jual beli yang sah.
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid menjelaskan, dasar kebolehan mengembalikan barang yang cacat adalah firman Allah SWT dalam Alquran Surat An Nisa ayat 29 sebagai berikut:
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
"Illa an takuna tijaaratan an taradhin minkum." Yang artinya, "Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu."
Dan juga hadits masyhur tentang kambing yang susunya tidak diperas. Barang yang cacat mungkin terjadi dalam suatu akad yang menuntut untuk dikembalikan, dan mungkin terjadi dalam suatu akad yang tidak menuntut hal itu.
Jika terjadi dalam akad yang menuntut dikembalikan, mungkin cacat yang menuntut suatu hukum dan yang menuntut konsekuensi hukum, mungkin barangnya sudah mengalami perubahan setelah dijual dan mungkin tidak.
Jika tidak mengalami perubahan, bagaimana hukumnya? Jika mengalami perubahan, apa saja jenisnya dan bagaimana pula hukumnya? Dalam hal ini terdapat lima hal. Antara lain tentang akad-akad yang barangnya cacat menimbulkan hukum tertentu, atau akadnya tidak jadi.
Kedua, tentang cacat-cacat yang menuntut konsekuensi hukum. Ketiga, tentang status cacat yang menuntut konsekuensi hukum jika barang yang dijual belum mengalami perubahan.
Keempat, tentang jenis-jenis perubahan yang terjadi pada pembeli berikut hukumnya. Kelima, tentang keputusan terkait masalah tersebut ketika terjadi perselisihan antara penjual dengan pembeli.