REPUBLIKA.CO.ID, — Penaklukan Kota Baghdad oleh pasukan Mongol tercatat dalam tinta hitam sejarah. Kota berjuluk Kota 1001 Malam ini terkepung dari pelbagai penjuru mata angin pada 29 Januari 1258.
Khalifah terakhir Dinasti Abbasiyah Abu Ahmad Abdullah al-Musta'shim Billah mengerahkan para prajuritnya untuk menyongsong bala tentara Mongol dan sekutu.
Namun, jumlah pasukan Abbasiyah tidak sebanding dengan musuh sehingga dapat dengan mudah dikalahkan.
Dari luar tembok Baghdad, Hulagu mengirimkan ultimatum agar pemimpin Abbasiyah segera menyerah. Pada saat itulah, Muayiddin al-Alqami menyarankan Khalifah al-Musta'shim untuk mengabaikan orang Mongol tersebut.
Bahkan, wazir Abbasiyah ini menyampaikan kata-kata manis bahwa seluruh dunia Islam akan datang untuk melindungi Baghdad dan penduduknya.
Karena terbawa bujukan itu, al-Musta'shim kurang mewaspadai kekuatan musuh. Bahkan, sisi benteng kota tidak diperkuatnya dengan menambah pasukan penjaga.
Pada 5 Februari 1258, satu per satu tembok pertahanan Baghdad runtuh akibat terus diterjang peluru-peluru dan hujan anak panah yang dimuntahkan pasukan Mongol.
Al-Musta'shim lantas menyadari kekeliruannya, tetapi terlambat sudah. Ia berupaya mengirimkan ribuan bangsawan Baghdad untuk meminta kesepakatan damai dengan musuh. Namun, mereka semua dibantai Hulagu Khan.
Sekira lima hari kemudian atau pada 10 Februari 1258, ibu kota Abbasiyah ini akhirnya jatuh ke tangan Mongol. Sang khan menunggu hingga tiga hari lamanya untuk memasuki kota tersebut.
Masa singkat itu digunakannya untuk mengamati kondisi Baghdad seusai kekalahan sang khalifah. Menjelang habis hari ketiga, Hulagu Khan menyuruh seluruh komunitas Kristen untuk mencari tempat perlindungan di pinggiran kota.
Tentaranya juga diperintahkan untuk tidak mengusik mereka. Sikap ini barangkali terkait dengan kedekatan khan tersebut pada kelompok Salibis. Diketahui, ibunda dan istrinya adalah pemeluk Kristen Nestorian.
Setelah itu, barulah Hulagu Khan mempersilakan pasukannya untuk menghabisi seluruh warga Baghdad. Nyaris tidak ada Muslimin setempat yang lolos dari pembantaian ini. Kaum wanita dilecehkan. Anak-anak dibariskan untuk kemudian dibunuh secara brutal. Jumlah korban keberingasan mereka tidak diketahui dengan pasti.
Beberapa sejarawan menyebut angka 800 ribu jiwa. Ada pula yang memperkirakan, sebanyak dua juta orang korban, termasuk di dalamnya ribuan kaum elite Abbasiyah.
Hulagu membiarkan al-Musta'shim selama beberapa hari dipenjara. Dalam masa yang singkat itu, sang khalifah dipaksa untuk menyaksikan kehancuran kota yang dibangun para leluhurnya.
Orang-orang Mongol melumat dengan beringas. Khazanah peradaban Islam di Bait al-Hikmah dan berbagai perpustakaan setempat dimusnahkannya sama sekali.
Konon,air Sungai Tigris sampai menghitam karena endapan tinta dari buku-buku yang dibuang pasukan berwatak nomaden itu. Keruhnya sungai tersebut juga disebabkan darah dari korban keganasan Mongol. Termasuk di antara mereka adalah para ulama, filsuf, dan cerdik cendekia.
Setelah hampir semua orang Baghdad dibunuh, kini saatnya mengeksekusi pemimpinnya.
Khalifah al-Musta'shim dikeluarkan dari kurungan dengan kondisi kelaparan dan kehausan. Selama mendekam di dalam sel, raja Muslim itu memang tidak diberi asupan apa-apa.
Baca juga: Niat Sholat Tarawih Sendiri dan Berjamaah, Arab dan Latinnya
Seperti umumnya para khan, Hulagu percaya bahwa darah seorang pemimpin musuh tidak boleh tumpah ke tanah.
Sebab, bumi akan menolaknya sehingga kelak mendatangkan bala bencana bagi orang-orang Mongol. Maka dari itu, proses hukuman mati yang dijatuhkan pada sang khalifah dibuat sedemikian rupa agar tidak mengotori tanah.
Caranya dengan menggulung al-Musta'shim dengan karpet tebal. Sesudah itu, sang khalifah diinjak oleh barisan pasukan kuda secara serentak dan berulang kali sampai mati. Demikianlah pemimpin terakhir Abbasiyah era Baghdad itu menemui ajalnya.