REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Umumnya darah haid dapat dikenali dari bentuk, volume, warna, hingga aroma yang khas. Namun pada beberapa kasus, Muslimah kerap dibingungkan dengan cairan yang keruh dan kuning yang dapat diduga cairan darah haid ataupun bukan. Bagaimana pandangan fikih dalam hal ini?
Adul Qadhir Muhammad Manshur dalam kitab Panduan Shalat An-Nisaa menjabarkan sebuah hadits, Ummu Athiyah berkata:
كُنّا لا نَعُدُّ الكُدْرَةَ والصُّفرة بعْدَ الطُّهرِ شَيْئاً “Kami dahulu tidak menganggap cairan kuning dan keruh sebagai apapun setelah bersuci (dari haid).”
Beberapa orang perempuan mengirmkan kepada Sayyidah Aisyah keranjang kecil berisi kapas yang padanya tertempel cairan kuning. Aisyah pun berkata, “Janganlah kalian terburu-buru (menganggapnya bukan darah haid) sampai kalian melihat cairan putih.”. Yang dimaksud Sayyidah Aisyah adalah kesucian dari haid.
Dan disampaikan kepada putri Zaid bin Tsabit bahwa beberapa perempuan meminta lampu di tengah malam untuk melihat kesucian. Dia pun berkata, “Dulu para perempuan tidak melakukan ini.” Dan mereka mencela perbuatan mereka itu. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Dalam kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid karya Ibnu Rusyd disebutkan bahwa para fuqaha saling berselisih pendapat mengenai status cairan keruh dan kuning bagian dari haid atau bukan. Sekelompok ulama berpandangan bahwa cairan demikian adalah haid pada hari-hari haid sebagaimana disampaikan oleh Imam Syafii dan Abu Hanifah.
Dan yang semisal dengannya diriwayatkan oleh Malik. Disebutkan, “Cairan kuning dan keruh adalah haid pada hari-hari haid. Dan pada selain hari-hari haid, cairan ini bukanlah haid baik terlihat bersama darah maupun tidak.”
Sementara itu Abu Dawud dan Abu Yusuf berpendapat bahwa cairan kuning dan keruh bukanlah haid kecuali apabila mengikuti darah.
Penyebab perselisihan ini adalah kontradiksi antara tekstual hadits Ummu Athiyah dengan hadits Sayyidah Aisyah. Yang demikian itu karena diriwayatkan bahwa Ummu Athiyah berkata, “Kami dulu tidak menganggap cairan kuning dan keruh setelah mandi sebagai apapun.”
Sementara itu dari Sayyidah Aisyah diriwayatkan bahwa para perempuan mengirimkan padanya keranjang kecil berisi kapas yang padanya tertempel cairan kuning dan keruh dari darah haid, serta bertanya kepadanya tentang shalat. Sayyidah Aisyah pun berkata, “Janganlah kalian terburu-buru sampai kalian melihat cairan putih.”
Dijelaskan bawa barang siapa yang memilih hadits dari Sayyidah Aisyah maka dia menjadikan cairan kuning dan keruh sebagai haid, baik yang keluar pada hari-hari haid maupun pada selain hari-hari haid.
Baik itu disertai dengan darah maupun tidak disertai dengan darah. Sebab hukum sesuatu yang sama tidak mungkin berbeda.
Dan barang siapa yang bermaksud menggabungkan kedua hadis ini, maka dia mengatakan bahwa hadis Ummu Athiyah berlaku setelah darah berhenti dan hadis Sayyidah Aisyah berlaku saat darah mulai berhenti, atau hadis Sayyidah Aisyah berlaku pada hari-hari haid dan hadis Ummu Athiyah berlaku pada selain hari-hari haid.
Sekelompok ulama berpegang pada zahir hadis Ummu Athiyah. Mereka tidak memandang cairan kuning dan keruh sebagai sesuatu pun. Baik pada hari-hari haid maupun pada hari-hari selain haid. Baik itu mengikuti darah maupun setelah darah berhenti. Dalilnya adalah sabda Nabi Muhammad SAW:
“Darah haid adalah darah hitam yang dikenal.” Selain itu, cairan kuning dan keruh buknalah darah melainkan bagian dari cairan-cairan selain haid yang dikeluarkan oleh rahim. Hal ini merupakan pendapat yang dikemukakan oleh Abu Muhammad bin Hazm.