REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Luke Campopiano memberikan gambaran tentang praktik ibadah Islam di wilayah kutub Utara, lewat artikelnya yang dimuat di laman The Arctic Institute. Dia menjelaskan, agama-agama universal, seperti Islam, Kristen, dan Buddha, sering kali menjangkau wilayah geografis yang jauh dari daerah asalnya untuk mencari pemeluk baru.
"Tidak ada ritual harian agama yang berkaitan erat dengan pergerakan Matahari selain Islam. Lantas bagaimana ketika Matahari tidak pernah terbit atau terbenam," jelas Campopiano mempertanyakan.
Islam menonjol di seluruh Asia dan Afrika Utara, dan telah menyebar jauh melampaui wilayahnya di Jazirah Arab. Konsekuensi penting dari aspek agama universal ini adalah perlunya beradaptasi dengan budaya dan iklim yang sangat berbeda. Salah satu adaptasi yang paling rumit adalah adaptasi Islam ke Kutub Utara.
Terutama terkait persoalan latitudinal untuk menggambarkan kesulitan menerapkan praktik Islam dalam kondisi Arktik. "Saya akan mengeksplorasi masalah garis lintang melalui tiga periode waktu yang berbeda: abad pertengahan, abad kesembilan belas, dan zaman modern," kata Campopiano.
Pada periode abad pertengahan, para pelancong Muslim yang pergi ke wilayah utara berkomentar tentang kondisi matahari Arktik yang keras, tetapi jarang mempertimbangkan implikasi praktisnya bagi praktik Islam. Pada abad kesembilan belas, reformis Islam bentrok dengan otoritas agama tentang kemungkinan ijtihad mengenai sholat Isya.