REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Alquran yang umat Islam kenal saat ini banyak dicetak di kertas, bahkan kini Alquran telah berwujud digital dan dapat diakses dengan mudah. Lantas bagaimana Alquran di era Nabi Muhammad ﷺ ?
Ustadz Ahmad Sarwat dalam buku Mengenal Lebih Dekat Kehidupan Zaman Rasulullah SAW menjelaskan, sepanjang 23 tahun diturunkannya Alquran semuanya dipastikan ditulis para sahabat yang diangkat secara khusus sebagai penulis wahyu. Sehingga tak ada satu pun ayat yang lolos tanpa teks tulisan.
Nabi Muhammad ﷺ bahkan memiliki 48 orang juru tulis wahyu. Yang paling terkenal adalah Zaid bin Tsabit dan Ubah bin Ka'ab. Namun di zaman itu penggunaan kertas belum lah ada meskipun Tsailun China sudah menemukan teknologi kertas sejak abad kedua Masehi. Namun demikian hal itu belumlah diproduksi masal sehingga harga kertas masih belum ergonomis.
Maka demikian teks ayat Alquran dituliskan di kulit hewan, pelepah kurma, batu yang pipih, dan kadang tulang unta yang lebar dan gepeng digunakan. Semua itu ditulis meski jumlah ayat Alquran terdapat enam ribuan ayat.
Hingga Nabi Muhammad ﷺ wafat, di zaman Sayyidina Abu Bakar lah benda-benda berserakkan itu disusun ulang sesuai dengan urutan ayat dan surat. Tentu semua sesuai dengan petunjuk dan praktik bacaan Nabi Muhammad ﷺ.
Sementara itu, pendapat-pendapat yang menolak otentisitas Mushaf Utsmani telah dilakukan oleh para ulama sepanjang masa. Abu 'Ubayd, misalnya, pada abad ke-2 H pernah menyatakan, ''Usaha Utsman mengkodifikasi Alquran akan tetap dan sentiasa dijunjung tinggi, karena hal itu merupakan sumbangannya yang paling besar.
Memang dikalangan orang-orang yang menyeleweng ada yang mencelanya, namun kecacatan merekalah yang tersingkap, dan kelemahan merekalah yang terbongkar.'' (Lihat Al Qurthubi, al-Jaami' li Ahkam al-Quran, 1: 84).
Selain itu, Abu Bakr Al Anbari, pada abad ke-3 H telah menulis buku berjudul al-Radd 'ala Man Khaalafa Mushaf Utsmaniy (Sanggahan Terhadap Orang yang Menyangkal Mushaf Utsmani). (al-Qurthubi, 1:5).
Begitu juga dengan Al Qurthubi, pada abak ke-7 H, seorang ahli tafsir berwibawa dan masyhur, dalam mukadimah kitab tafsirnya menyediakan satu bab khusus tentang hujah dalam menyanggah orang yang mencela Alquran dan menyangkal Mushaf Utsmani dengan [dakwaan] adanya penambahan dan pengurangan. (Al Qurthubi, 1:80-86). Begitu juga dengan Prof Azami, pada abad ke-21 ini.