Berbeda halnya andai saja dari arisan haji itu tidak digunakannya untuk ongkos naik haji, misalnya biaya hajinya diperoleh dari usaha halal lainnya. Maka ia sudah dikategorikan mampu dan dikenakan wajib haji.
Adapun wewenang terakhir dari anggota arisan yang ada, maka ia sudah wajib menjalankan ibadah haji karena ongkos naik hajinya diperoleh dari hasil tabungannya selama satu putaran arisan itu. Dan maka ia sudah dikategorikan sebagai orang yang termasuk mampu, sebab ongkos naik hajinya yang dipakai berasal dari dirinya sendiri, bukan dari piutang. Demikianlah fleksibilitas sekaligus ketegasan hukum Islam dalam menjawab problematika fikih mengenai arisan haji.
Kiai Ali memberikan penekanan bahwa pintu surga selalu terbuka bagi orang yang ikhlas melakukan ibadah apa saja. Tidak terbatas pada ibadah haji semata.
Bahkan menyantuni anak yatim dan fakir miskin lebih utama dari ibadah haji kedua, ketiga, dan seterusnya. Sehingga lebih baik apabila melakukan ibadah yang lebih utama dari menjalankan ibadah haji kedua, ketiga, dan seterusnya tersebut.