Jumat 17 Dec 2021 05:05 WIB

Apakah Ikut Arisan Haji Dibolehkan dalam Syariat?

Seorang Muslim dikenakan wajib haji ketika ia mampu menunaikannya.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Ani Nursalikah
Jamaah haji menuruni Jabal Rahmah saat berwukuf di Padang Arafah, Makkah, Arab Saudi.
Foto:

Dan kemampuan (istitha’ah) ini berarti mampu bi nafsihi, yakni ongkos hajinya berasal dari diri sendiri dengan hasil usaha yang dihalalkan agama. Juga bisa berarti mampu bi ghairihi yakni ongkos naik hajinya ditanggung orang lain. Sedangkan bila istitha’ah tidak ada, maka kewajiban haji pun tidak ada.

Hal ini sesuai dengan kaidah fikih, “Al-hukmu yaduru ma’a illati wujudan wa adaman,”. Yang artinya, “Hukum itu berputar bersamaan dengan ada dan tidaknya illat,”. Di samping itu Allah SWT berfirman dalam Surat Ali Imran ayat 97, “Walillahi alannasi hijjul-baiti manistatha’a ilaihi sabilan,”. Yang artinya, “Hanya karena Allah, mengerjakan haji itu wajib atas manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah,”.

Dalam hadits riwayat Ad-Daruquthni yang disahihkan Al-Hakim, dikatakan sanggup di sini berarti adanya bekal dan kendaraan. Dari uraian tersebut, kata Kiai Ali, kewajiban haji hanya berlaku bagi orang yang sanggup membayar ongkos naik haji.

Maka, seorang Muslim yang memaksakan dirinya menunaikan haji, padahal ia tidak mampu bayar, misalnya dengan cara mengikuti arisan haji dan ia mendapatkan uang arisan pada putaran-putaran awal, maka hukumnya minimal makruh bahkan bisa haram. Sebab, kata Kiai Ali, ongkos hajinya itu berasal dari uang yang dipinjamkan oleh anggota arisan lainnya.

Jadi ia berangkat haji dengan berutang. Sementara ia sendiri belum terkena khitab wajib haji.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement