Ahad 14 Nov 2021 05:15 WIB

MUI Haramkan Kripto, Bagaimana di Arab Saudi?

MUI menilai kripto haram karena mengandung gharar.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
MUI Haramkan Kripto, Bagaimana di Arab Saudi?. Foto:  Uang kripto (ilustrasi)
Foto: Pixabay
MUI Haramkan Kripto, Bagaimana di Arab Saudi?. Foto: Uang kripto (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan uang kripto atau cryptocurrency. MUI memutuskan fatwa haram uang kripto tersebut dalam Forum Ijtima Ulama se-Indonesia VII di Jakarta pada Kamis (11/11).

Ketua Majelis Ulama Indonesia Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh menjelaskan, alasan kripto haram sebagai mata uang karena mengandung gharardharar, dan bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17 tahun 2015.

Baca Juga

Namun, enam bulan sebelum MUI mengeluarkan fatwa tersebut, Forum Bahtsul Masail yang digelar Islamic Law Firm dan Wahid Foundation pada Sabtu (19/6) lalu menghasilkan keputusan yang agak berbeda. Forum Bahtsul Masail yang digelar di Jakarta itu memutuskan kripto halal atau haram, semuanya bersyarat.

Sebagai inisiator Bahtsul Masail tersebut, Yenny Wahid mengatakan, kripto dinilai halal oleh sebagian pihak karena terbebas dari riba dibandingkan dengan uang fiat dan bank konvensional. Hal ini didukung transaksi blockchain yang merujuk pada transaksi langsung peer-to-peer tanpa perantara. Selain itu, menurut dia, kripto halal selama ini tidak dilarang oleh negara.

Kendati demikian, Yenny tidak menampik pendapat kripto haram, karena memiliki unsur ketidakpastian yang tinggi. Harganya bisa berubah sangat cepat tanpa sentimen yang jelas.

Kripto dianggap haram oleh sebagian pengamat karena tingkat volatilitas mata uang kripto yang amat tinggi hingga dekat dengan judi sehingga tidak bisa diperdagangkan karena tidak ada underlying asset (objek dasar transaksi sukuk).

Menurut Yenny, dalam konteks Indonesia, kripto itu mal atau sesuatu yang bernilai harta kekayaan. Dengan begitu, kalau rusak atau dicuri maka harus ada ganti ruginya. ”Oleh sebab itu boleh diperdagangkan, halal sebagai komoditi (sil’ah) dan bukan sebagai mata uang (cryptocurrency) tapi cyptoasset,” kata Yenny dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Sabtu (13/11).

Ketua panitia bahtsul masail Islamic Lawfirm dan Wahid Foundation, Muhlisin Maroef menjelaskan, persoalan mata uang kripto masuk dalam masalah fikih kontemporer. Menurut dia, masalah ini tidak ditemukan jawabannya secara langsung dalam khazanah fikih klasik. Karena itu para ulama kontemporer melakukan kajian untuk menemukan at-takyif al-fiqhi yang relevan untuk mata uang kripto.

Menurut dia, karakteristik atau sifat uang kripto sebagai tidak memiliki wujud fisik yang nyata, karena merupakan data yang terenkripsi di dalam komputer. Selain itu, mata uang kripto diterbitkan oleh perusahaan anonim walau bisa diterbitkan oleh perusahaan yang jelas identitasnya maupun negara.

Karakter lainnya, sebagian orang mengenalnya sebagai tsaman dalam jual-beli dan pembayaran biaya manfaat dan barang, serta dapat dipecah-pecah.

Baca juga : MUI Haramkan Uang Kripto

Meski begitu, ada sejumlah kelemahan kelemahan mata uang kripto. Di antaranya volatilitas dan fluktuasi harga luar biasa, hingga bisa menjadi sumber gharar (spekulasi atau ketidak-pastian).

Kelemahan lainnya, sering dihack dan menjadi target kriminal teknologi, target pencurian digital,dan regulator dapat saja menghancurkan keseluruhan industri kripto dengan aturan yang mempersulit pergerakannya.

”Dengan demikian, maka cukup diketahui karakteristik mata uang kripto, sehingga muncul beragam pandangan mengenai at-takyif al-fiqhi terhadap mata uang tersebut,” jelas Muhlisin Maroef.

Maroef menambahkan, sebagian ulama cenderung menyamakan kripto dengan emas. Yang lain menyamakan dengan mata uang resmi (al-‘umulat an-naqdiyyah). Ada juga yang menganggapnya sebagai sil’ah (komoditi) dan mata uang khusus (al-‘umulat al-khashshah).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement