REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ada banyak cara seseorang untuk mendapatkan kekhusyukan dalam sholat. Salah satunya dengan menangis. Menangis dalam sholat kerap diasosiasikan sebagai tanda khusyuk bagi seorang Muslim dalam menjalankan ibadahnya.
Namun demikian, umat Islam perlu memperhatikan sejumlah syarat agar tangis tersebut tak merusak nilai sah sholat.
Dilansir di Masrawy, Kamis (11/11), Anggota Komite Agung Al-Azhar, Syekh Ramadan Abdel Razek, menjelaskan mengenai hukum menangis saat sholat.
Dia menyebutkan bahwa menangis dalam sholat memiliki konsekuensi hukum yang menyertainya. Antara lain sebagai berikut:
Pertama, karena takut kepada Allah SWT dan tidak bersuara yang membedakan huruf-hurufnya. Maka jika seperti itu maka hukumnya adalah mustahab, sebab itu termasuk ke dalam bagian takut kepada Allah SWT.
Di mana sikap takut kepada Allah merupakan ciri dari orang yang rendah hati dan bertakwa.
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surat Al Isra ayat 109:
وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا
“Wa yakhirruna lil-adzqaani yabkuuna wa yaziduhum khusyu’an.”
Yang artinya, “Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.”
Kedua, Sayyidina Umar bin Khattab kerap menangis saat sholat. Apalagi Abu Bakar. Dia juga menangis dalam sholatnya. Ketika Rasulullah SAW dalam keadaan sakit menjelang ajalnya, Sayyidina Abu Bakar memerintahkan umat Islam untuk mendirikan sholat dan memanjatkan doa.
Kemudian Sayyidah Aisyah berkata dalam sebuah riwayat sebagai berikut:
إن أبا بكر رجل اسيف، أي كثير الأسف، إن أبا بكر رجل رقيق، إذا قام غلبه البكاء.
Bahwa saat itulah Sayyidina Abu Bakar terlihat tampak begitu sedih. Kesedihan tersebut memancarkan makna bahwa beliau merupakan orang yang lembut hatinya.
Ketiga, menangis dalam sholat karena takut kepada Allah SWT boleh dilakukan dengan syarat dia tidak berbicara dalam doanya. Maka menangis yang demikian, tanpa diiringi berbicara di luar bacaan sholat, hukumnya mustahab dan merupakan ciri dari orang yang saleh.