REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Usia Abdul Muthalib sudah hampir mencapai tujuh puluh tahun lebih tatkala Abrahah mencoba menyerang Makkah dan menghancurkan Rumah Purba (Kabah).
Ketika itu umur Abdullah, anaknya, sudah dua puluh empat tahun, dan sudah tiba masanya dikawinkan untuk membina rumah tangga dan melahirkan keturunan.
Ketika itu pilihan Abdul Muthalib jatuh kepada Aminah bin Wahb bin Abd Manaf bin Zuhra yang merupakan pemimpin suku Zuhra ketika itu yang sesuai pula usianya dan mempunyai kedudukan terhormat.
Abdullah dan Aminah merupakan orang tua Baginda Nabi Muhammad Rasulullah SAW. "Maka pergilah anak-beranak itu hendak mengunjungi keluarga Zuhra. Dia dengan anaknya menemui Wahb dan melamar putrinya," tulis Muhammad Husain Haekal dalam bukunya "Sejarah Hidup Muhammad."
Husain Haekal mengatakan, sebagian penulis sejarah berpendapat, bahwa dia pergi menemui Uhyab, paman Aminah, sebab waktu itu ayahnya Aminah sudah meninggal dan dia di bawah asuhan pamannya. Pada hari perkawinan Abdullah dengan Aminah itu, Abdul Muthalib juga menikah dengan Hala, putri pamannya. "Dari perkawinan ini lahirlah Hamzah, paman Nabi dan yang seusia dengan dia," katanya.
Abdullah dengan Aminah tinggal selama tiga hari di rumah Aminah, sesuai dengan adat kebiasaan Arab bila perkawinan dilangsungkan di rumah keluarga pengantin puteri. Sesudah itu mereka pindah bersama-sama ke keluarga Abdul Muthlib.
Tak seberapa lama kemudian Abdullah pun pergi dalam suatu usaha perdagangan ke Syam dengan meninggalkan istri yang dalam keadaan hamil.
Dalam perjalanannya itu Abdullah tinggal selama beberapa bulan. Pada saat itu dia pergi juga ke Gaza dan kembali lagi. Kemudian dia singgah ke tempat saudara-saudara ibunya di Madinah sekadar beristirahat sesudah merasa letih selama dalam perjalanan. "Sesudah itu dia akan kembali pulang dengan kafilah ke Makkah," katanya.
Akan tetapi kemudian dia menderita sakit di tempat saudara-saudara ibunya itu. Kawan-kawannya pun pulang lebih dulu meninggalkan dia. Dan merekalah yang menyampaikan berita sakitnya itu kepada ayahnya setelah mereka sampai di Makkah.
"Begitu berita sampai kepada Abdul Muthlib dia mengutus Harith anaknya yang sulung ke Madinah, supaya membawa kembali bila dia sudah sembuh," katanya
Akan tetapi sesampainya di Madinah dia mengetahui bahwa Abdullah sudah meninggal dan sudah dikuburkan pula, sebulan sesudah kafilahnya berangkat ke Makkah. Kembalilah Harith kepada keluarganya dengan membawa perasaan pilu atas kematian adiknya itu.
"Rasa duka dan sedih menimpa hati Abdul Muthtalib, menimpa hati Aminah, karena dia kehilangan seorang suami yang selama ini menjadi harapan kebahagiaan hidupnya," katanya
Demikian juga Abdul Muthalib sangat sayang kepadanya sehingga penebusannya terhadap berhala yang demikian rupa belum pernah terjadi di kalangan masyarakat Arab sebelum itu.
Peninggalan Abdullah sesudah wafat terdiri dari lima ekor unta, sekelompok ternak kambing dan seorang budak perempuan, yaitu Umm Ayman yang kemudian menjadi pengasuh Nabi.
Boleh jadi, kata Haekal, peninggalan serupa itu bukan berarti suatu tanda kekayaan, akan tetapi tidak juga merupakan suatu kemiskinan. Di samping itu umur Abdullah yang masih dalam usia muda belia, sudah mampu bekerja dan berusaha mencapai kekayaan.
Dalam pada itu dia memang tidak mewarisi sesuatu dari ayahnya yang masih hidup itu. Aminah sudah hamil, dan kemudian, seperti wanita lain dia pun melahirkan.
Selesai bersalin dikirimnya berita kepada Abdul Muthalib di Ka’bah, bahwa dia melahirkan seorang anak laki-laki. Alangkah gembiranya orang tua itu setelah menerima berita. Sekaligus dia teringat kepada Abdullah anaknya. Gembira sekali hatinya karena ternyata pengganti anaknya sudah ada.
"Cepat-cepat dia menemui menantunya itu, diangkatnya bayi itu lalu dibawanya ke Kabah. Dia diberi nama Muhammad," katanya.