REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Semua ibadah pada dasarnya ada tuntunannya dari Allah dan Rasul-Nya sehingga harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya. "Ibadah telah disyariatkan, namun dikerjakan tidak sesuai tuntunan itu termasuk bid’ah yang sangat terlarang dalam agama," tulis Shalahuddin Guntung dalam tulisannya Haji dan Ittiba.
Ia menerangkan bid’ah adalah segala yang diada-adakan dalam agama tanpa berdasar pada suatu dalil. Suatu perkara tidak dapat dikategorikan sebagai bid’ah kecuali jika di dalamnya terdapat tiga unsur secara kolektif.
"Yaitu, mengadakan sesuatu yang baru, menyandarkan sesuatu yang baru tersebut kepada agama, dan hal baru yang diadakan tersebut tidak memiliki dalil syariat, baik yang bersifat khusus maupun umum," katanya.
Bid’ah dalam bidang ibadah dan bidang-bidang agama lainnya sangat tegas ditolak dan dilarang oleh Rasulullah SAW dalam banyak sabdanya, antara lain: "Dan jauhilah perkara yang diada-adakan (dalam agama) karena sesungguhnya perkara yang diada-adakan itu adalah bid'ah dan semua bid'ah itu sesat.” (HR. Abu Daud).
Dan Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami ini yang bukan bagian daripadanya maka hal itu tertolak." (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam redaksi yang lain dikatakan, “Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, niscaya amalan tersebut tertolak." (HR. Muslim).
Ibadah yang bid’ah, selain berisiko ditolak oleh Allah dan divonis sesat oleh Rasulullah, di dalamnya juga terdapat pendustaan terhadap Allah yang menegaskan agama ini telah sempurna sehingga tidak perlu inovasi dan ditambah dengan ibadah baru atau cara baru dalam melakukan ibadah. Sedang Allah telah menegaskan dalam Alquran surah Al-Maidah ayat 3 yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu." (Al-Maidah ayat 3).