REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rasulullah SAW menafkahi para istrinya, baik yang sifatnya zahir maupun batin. Di antara nafkah tersebut adalah pemenuhan Nabi terhadap tempat tinggal (rumah) untuk istri-istrinya.
Abdul Fattah As-Samman dalam buku Harta Nabi menyebutkan bahwa Abu Ya’la Al-Fara dalam kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah mengatakan, “Adapun rumah istri-istri Nabi di Madinah, sesungguhnya beliau telah memberikan tempat tinggal kepada masing-masing dari mereka dan beliau pun telah berwasiat tentang hal itu,”.
“Jika Nabi memberikan rumah-rumah itu beserta hak kepemilikannya, maka ia di luar sedekah (wakaf) dan jika Nabi memberikan hak menempati saja, maka ia termasuk bagian dari sedekah. Sekarang rumah-rumah mereka termasuk ke dalam masjid dan menurutku tidak ada yang keluar dari masjid,”.
Sedangkan Imam As-Samhudi menyebutkan kesepakatan para sejarawan bahwa rumah-rumah para istri Nabi masuk ke dalam perluasan masjid sesuai dengan perintah Al-Walid bin Abdul Malik Al-Umawi. Namun ada nukilah dari Imam At-Thabari mengenai adanya perselisihan mengenai kepemilikan istri-istri terhadap rumah-rumah mereka.
At-Thabari Al-Makki mengatakan, “Dikatakan bahwa Nabi memberikan hak milik rumah yang menjadi tempat tinggal istri-istri beliau kepada masing-masing dari mereka. Maka mereka menempati rumah-rumah tersebut dengan hak milik yang diberikan beliau. Pendapat lain mengatakan, ‘Tempat tinggal mereka tidaklah diperselisihkan karena termasuk dari pembiayaan yang dikecualikan Nabi dari apa-apa yang beliau miliki semasa hidup,”.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Apa yang aku tinggalkan selain nafkah istri-istriku dan biaya pekerjaanku adalah sedekah,”.