REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Seorang hamba hendaknya terus berupaya untuk membersihkan hatinya menjadi lebih sempurna. Allah SWT memuji kekasih-Nya, Ibrahim AS, dengan kesucian hatinya.
وَإِنَّ مِن شِيعَتِهِۦ لَإِبْرَٰهِيمَ . إِذْ جَآءَ رَبَّهُۥ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ “Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh). (lngatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci (QS As Saffat ayat 83-84).
Dikutip dari buku Ad-Daa wad Dawaa karya Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Kebersihan hati tidak akan sempurna, melainkan setelah selamat dari lima perkara:
- Syirik, yang berlawanan dengan tauhid
- Bidah, yang berseberangan dengan sunnah
- Syahwat, yang menyelisihi perintah
- Kelalaian, yang berlawanan dengan dzikir
- Hawa nafsu, yang bertentangan dengan kemurnian dan ikhlas.
Inilah lima perkara yang merupakan penghalang dari Allah. Masing-masingnya memiliki jenis yang beraneka ragam, bahkan setiap jenis mempunyai anggota yang tidak terbatas.
Oleh karena itu, merupakan kebutuhan yang teramat mendesak bagi seorang hamba, bahkan darurat, untuk memohon kepada Allah agar menunjukinya jalan yang lurus. Tidak ada hamba lain yang lebih membutuhkan doa tersebut selain dirinya. Tidak ada pula perkara yang lebih bermanfaat daripada hal ini.
Jalan yang lurus mengandung berbagai ilmu, keinginan, amal, dan perkara yang ditinggalkan secara lahir maupun batin yang berlangsung setiap waktu.
Rincian dari jalan lurus tersebut terkadang diketahui seorang hamba dan terkadang tidak diketahui. Bisa jadi, apa yang tidak diketahuinya lebih banyak dibandingkan yang dia ketahui.
Untuk perkara yang diketahui hamba itu, terkadang dia mampu melakukannya dan terkadang sebaliknya. Namun, itulah jalan yang lurus, meskipun dia tidak mampu menjalaninya, sementara perkara yang mampu dia lakukan, terkadang itulah perkara yang diinginkan jiwanya, tetapi kadang sebaliknya, baik karena malas, menganggapnya remeh, adanya penghalang, atau sebagainya.
Untuk perkara yang diinginkannya, terkadang dikerjakan dan terkadang tidak. Untuk perkara yang dikerjakan, terkadang dia dibarengi dengan keikhlasan dan terkadang tidak.
Untuk perkara yang dia kerjakan dengan ikhlas, terkadang disertai kesempurnaan mutaba’ah (mencontoh Nabi) dan terkadang tidak demikian.
Untuk perkara yang disertai mutaba'ah, terkadang dia konsisten di atasnya dan terkadang hatinya berpaling dari hal itu. Semua ini adalah realita yang berlaku dalam diri manusia. Perbedaannya hanya terletak pada porsinya, banyak atau sedikit.
Hidayah atas perkara tersebut bukanlah tabiat hamba. Bahkan jika dirinya diserahkan pada tabiat, niscaya dia terhalang dari seluruh perkara tadi. Itulah keterbalikan yang Allah timpakan bagi kaum munafik disebabkan dosa-dosa. Allah mengembalikan mereka pada tabiat dan apa yang tercipta dalam jiwa, berupa kebodohan dan kezaliman.
Allah berada di atas jalan yang lurus dalam keputusan, ketentuan, larangan, dan perintah-Nya. Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus tersebut, dengan karunia dan rahmat-Nya.
Dia meletakkan hidayah pada tempatnya yang sesuai. Dia memalingkan siapa pun yang dikehendaki-Nya dari jalan-Nya yang lurus, dengan keadilan dan hikmah-Nya, disebabkan hamba tersebut tidak pantas berada di jalan tersebut.
Itulah konsekuensi dari jalan-Nya yang lurus, yang Dia ada di atasnya. Pada hari Kiamat, Dia akan memancangkan jalan (titian) yang lurus bagi makhluk-Nya, yang mengantarkan mereka kepada-Nya, sementara Dia di jalan yang lurus.