REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Istilah yang tepat untuk menyebut tradisi atau budaya pelaksanaan sunnah Nabi Muhammad SAW adalah dengan sebutan as-sunnah al-hayyah (sunnah yang hidup), bukan ihya as-sunnah (menhidupkan sunnah). Hal ini sebagaimana terekam dari contoh yang Nabi dan para sahabat berikan.
Ustadz Ahmad Ubaydi Hasbillah dalam buku Ilmu Living Quran Hadis menjelaskan bahwa semua sunnah telah hidup pada masa Nabi sebab Nabi sendirilah yang menghidupkannya.
Sehingga semua yang terjadi pada diri Nabi dapat dengan segera ditiru dan dihidupkan sahabat-sahabatnya. Sedangkan upaya dalam proses pelaksanaannya disebut sebagai ihya as-sunnah.
Hal ini tercermin ketika Nabi melakukan qiyamul lail Ramadhan. Para sahabat tanpa bertanya-tanya sama sekali, langsung saja mereka mengikutinya.
Tidak hanya itu, mereka pun langsung beramai-ramai menghidupkan qiyamul lail di masjid padahal Nabi sama sekali tidak memerintahkannya.
Sehingga pada malam-malam berikutnya, Nabi sengaja tidak pergi ke masjid sedangkan mereka masih tetap menghidupkan malam-malam mereka di masjid.
Baru setelah diklarifikasikan kepada Nabi alasan ketidakhadirannya di masjid pada malam-malam saat mereka semakin ramai ber-qiyamul lail, Nabi menjawab, “Aku hanya takut hal itu akan menjadi wajib untuk kalian.”
Sikap Nabi seperti itu merupakan bentuk cinta kasih kepada umatnya, sebab Nabi tidak ingin membebani umatnya. Maka dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa ketika Nabi menghidupkan sunnahnya, para sahabat tentu sangat bersemangat menghidupkannya.
Itulah sebabnya pada masa Nabi, praktik living Quran-hadis lebih tepat disebut sebagai sunnah yang hidup daripada menghidupkan sunnah.