Rabu 04 Aug 2021 21:34 WIB

Hukum Fiqih tentang Anak dari Rahim Titipan

Hukum Fiqih tentang Anak dari Rahim Titipan

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Hukum Fikih tentang Anak dari Rahim Titipan
Foto: www.freepik.com.
Hukum Fikih tentang Anak dari Rahim Titipan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dalam Islam, setiap keturunan memiliki hak dan kewajibannya tersendiri. Untuk itu perkara reproduksi pun tak lepas dari jangkauan pembahasan fikih oleh para ulama, salah satunya adalah tentang hukum anak yang lahir dari rahim titipan.

Setidaknya mengenai hukum rahim titipan, para ulama saling berselisih pendapat. Misalnya seperti yang diungkapkan oleh ulama terkemuka Syekh Yusuf Al-Qaradhawi yang semula mengharamkan hukum anak yang lahir dari rahim titipan. Alasannya adalah proses reproduksi dari air mani laki-laki yang membuahi rahim istri orang lain dinilai sangat keliru.

Baca Juga

Sebab, keduanya dianggap tidak memiliki hubungan dengan anak yang dikandung itu. Sehingga keduanya pun tidak memiliki hak waris-mewarisi. Ibunya yang asli adalah yang memberikan embrio dengan air mani dari suami aslinya. Untuk itu dia berpendapat bahwa hukumnya haram secara mutlak, karena ia memiliki satu kesamaan dengan zina, yaitu mengakibatkan percampuran nasab.

Syekh Yusuf berpendapat bahwa syariat Islam tidak mengakui tujuan tindakan tersebut sesuai dengan hukum-hukum syariat. Namun belakangan, Syekh Yusuf Al-Qaradhawi justru meralat pernyataannya yang kemudian memperbolehkan perbuatan tersebut. Dalam tulisannya berjudul Dhawabuth wa Ahkam, Syekh Yusuf menyandarkan pendapat yang membolehkannya setelah sempat memastikan keharamannya.

Alasan pembolehan itu adalah karena janin yang tumbuh dari air mani orang lain maka ia akan menjadi anak dari pria yang memiliki air mani tersebut. Sedangkan istrinya yang tidak mengandung dan tidak melahirkan itulah ibu janin yang sebenarnya, dan ibu yang mengandung tidak disebut sebagai ibu kandung.

Endy Astiwara dalam buku Fikih Kedokteran Kontemporer menjelaskan bahwa Syekh Yusuf dinilai telah mencampuradukkan hukum serta perkara-perkara halal dan haram tanpa didasari dengan keterangan. Pendapatnya pun dinilai bersebrangan dengan nash dan pokok-pokok syariat.

Sebagai kritik terhadap pendapat Syekh Yusuf Al-Qaradhawi, Abdullah bin Zaid merasa perlu menjelaskan pembuahan dalam kedua cara tersebut benar-benar ilegal. Pertama, bahwa pembuahan dengan air mani laki-laki asing tanpa perantara, dan kedua adalah tentang implantasi embrio ke daam rahim wanita lain.

Sehingga dijelaskan, kedua cara tersebut dinilai sama-sama ilegal. Sebab inti dari kedua cara tersebut adalah memindahkan sperma laki-laki selain suaminya ke dalam rahim wanita yang bukan istrinya. Padahal wanita tersebut wajib memelihara dirinya dari tercampur oleh air mani laki-laki yang bukan suaminya.

Abdullah bin Zaid menegaskan bahwa ketetapan hukum rahim titipan oleh Syekh Yusuf didasari oleh pertimbangan qiyas yang lemah dan keliru. Dijelaskan bahwa pokok yang batil tidak bisa dijadikan dasar qiyas, karena qiyas terhadap hal yang tidak benar menghasilkan hukum yang tidak benar pula.

Padahal, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Man ahdatsa fi amrina hadza maa laisa minhu fahuwa raddun,”. Yang artinya: “Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka ia ditolak,”.

Abdullah bin Zaid juga menambahkan, sebelum ada pernyataan bulat mengenai ketetapan hukum rahim titipan oleh Syekh Yusuf Al-Qaradhawi, belum ada satu pun ulama yang memperbolehkan rahim titipan. Sedangkan rahim titipan dalam realitanya dinilai sebagai percampuran nasab kepada orang yang tidak memiliki hubungan sah.

Untuk itu pembuahan dengan cara demikian dinilai memiliki kesamaan denan zina atau pada satu hal, yakni percampuran nasab ilegal. Untuk itu dia menekankan bahwa hukum rahim titipan adalah haram dan merusak syariat.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement