REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang perempuan tidak dibenarkan mengawinkan dirinya sendiri ataupun orang lain. Tetapi mereka harus melalui seorang laki-laki yang bertindak sebagai walinya.
Muhammad Bagir dalam buku Muamalah Menurut Alquran, Sunah, dan Para Ulama menjelaskan, mayoritas ulama termasuk Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa seorang perempuan tidak dibenarkan menikahkan dirinya ataupun perempuan selainnya. Dengan demikian, pernikahan tidak dapat berlangsung dengan tindakan atau ucapan perempuan itu sendiri.
Sebab, perwalian merupakan syarat yang harus terpenuhi demi keabsahan akad nikah. Dan bahwa yang mengakadkan itu haruslah seorang wali yang berhak. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam Alquran Surah An-Nur ayat 32: “Wa ankihu al-ayama minkum wa as-shaalihina min ibadikum wa imaanikum in yakunu fuqara-a yughnihumullahu min fadhlihi, wallahu wasi’un alimun,”.
Yang artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan mengampunkan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Mahamengetahui,”.
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa—kata mereka—Allah SWT menunjukkan firman-Nya tentang pernikahan kepada kaum laki-laki—tidak kepada kaum perempuan yang hendak menikah. Seolah-olah hendak berkata kepada mereka: “Janganlah kalian, wahai para wali, menikahkan perempuan-perempuan yang berada di bawah perwalian kalian, kepada kaum musyrik.
Imam Bukhari merawikan bahwa Ma’qil bin Yasar berkata: “Aku pernah mengawinkan adik perempuanku dengan seorang kaki-laki yang tidak lama kemudian menceraikannya. Lalu ketika lewat masa iddahnya, laki-laki itu datang lagi untuk meminangnya kembali. Maka kukatakan kepadnya, ‘Aku telah mengawinkanmu dan memuliakanmu, namun kamu menceraikan istrimu itu. Dan kini kamu datang lagi untuk meminangnya? Tidak! Demi Allah, kamu takkan menikahinya kembali”. (Laki-laki itu sebetulnya cukup memadai, sementara si mantan istri masih ingin dia kembali lagi kepadanya).
Maka Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dalam Surah Al-Baqarah penggalan ayat 232: “Falaa ta’dhuluhunna an yankihna azwaajahunna idza taradhuu bainahum bil-ma’ruf,”. Yang artinya: “Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf,”.
Mendengar itu, Ma’qil segera berkata: “Sekarang aku akan mengawinkannya, Ya Rasulullah! (Berkaitan dengan riwayat ini, Imam Ibnu Hajar memberikan komentarnya: “Sebab turunnya ayat ini merupakan dalil paling jelas tentang kewajiban adanya wali dalam perkawinan. Seandainya tidak demikian, penolakan Ma’qil tersebut tidak ada artinya. Dan sekiranya si perempuan dibenarkan mengawinkan dirinya sendiri, niscaya dia tak memerlukan saudaranya,”.
Sedangkan Sayyidah Aisyah merawikan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Siapa saja perempuan yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya itu batal, nikahnya itu batal, nikahnya itu batal,”. Hadis ini diriwayatkan Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam Ibnu Majah, dan Imam Tirmidzi seraya mengomantarinya sebagai hadis hasan. Sedangkan Imam Al-Qurthubi berkata bahwa hadis ini shahih.
Selain dalil-dalil di atas, para ulama juga menyatakan bahwa perkawinan memiliki berbagai macam tujuan kebaikan. Sedangkan (kebanyakan) perempyan sering kali hanya tunduk kepada perasaan (emosi) hatinya. Sehingga kurang mampu memilih yang terbaik secara rasional.
Sebagai akibatnya, dia akan kehilangan banyak di antara tujuan-tujuan yang baik ini. Karena itulah, dia perlu dicegah dari melakukan sendiri akad nikahnya, dan harus menyerahkan persoalan pernikahannya itu kepada walinya agar lebih banyak manfaat yang dapat diraih secara keseluruhan.