REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari Tasyrik adalah hari-hari setelah Idul Adha. Allah menetapkan hari tersebut sebagaimana firman-Nya dalam surat Al Baqarah ayat 203:
وَاذْكُرُوا اللّٰهَ فِيْٓ اَيَّامٍ مَّعْدُوْدٰتٍ ۗ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِيْ يَوْمَيْنِ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِ ۚوَمَنْ تَاَخَّرَ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِۙ لِمَنِ اتَّقٰىۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّكُمْ اِلَيْهِ تُحْشَرُوْنَ
“Dan berzikirlah kepada Allah pada hari yang telah ditentukan jumlahnya. Barangsiapa mempercepat (meninggalkan Mina) setelah dua hari, maka tidak ada dosa baginya. Dan barangsiapa mengakhirkannya tidak ada dosa (pula) baginya, (yakni) bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kamu akan dikumpulkan-Nya.”’
Alasan disebut hari Tasyrik karena cara masyarakat dulu mengawetkan daging qurban. Sebelum ditemukan sistem pendingin, para peziarah biasa mengiris daging yang mereka peroleh dari udhiyah atau hewan qurban lalu membumbuinya dengan garam dan membiarkannya dijemur di bawah sinar matahari. Cara ini merupakan cara pengawetan makanan tradisional.
Kondisi tersebut memungkinkan para peziarah mengawetkannya dan membawanya dalam perjalanan panjang. Proses itu disebut "Tasyrik" yang berasal dari kata bahasa Arab berarti matahari terbit atau sinar matahari. Dalam proses itu memerlukan paparan daging di bawah sinar matahari untuk waktu lama.
Meskipun sebagian besar peziarah tidak mempraktikkannya lagi, tapi masih ada beberapa peziarah yang melakukan. Di kamp-kamp Mina, terlihat daging dendeng yang digantung di berbagai tempat di sisi tenda mereka.