REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Ilmu manusia itu bisa diperoleh melalui dua jalan. Pertama melalui pengajaran manusia kedua melalui pengajaran Tuhan yang Maha- Esa Allah SWT.
"Cara pertama adalah cara lazim dan jalan yang bisa diindra serta diakui oleh semua orang berakal," kata Imam Abu Hamid Al Ghazali dalam kitabnya yang telah diterjemahkan ke dalam judul "Rahasia Ilmu Laduni"
Sementara pengajaran Tuhan itu terjadi melalui dua bentuk. Dari luar dengan belajar dan dalam, dengan konsentrasi dalam perenungan, sebab merenung menggunakan batin itu memiliki kedudukan yang sama dengan belajar dalam konteks lahir.
"Belajar adalah pencarian manfaat oleh individu dari individu partikular, sedangkan merenung berarti mengambil manfaat oleh jiwa dari jiwa universal," katanya.
Sehingga jiwa universal itu lebih mendalam pengaruhnya dan lebih kuat ajarannya dibanding semua ulama maupun orang-orang cerdas. Semua ilmu itu terpusat di dalam pangkal jiwa secara kuat, ibarat menancapnya benih dalam tanah, menancapnya mutiara di dasar laut atau di dasar pusaran barang tambang. "Dan belajar sama halnya dengan mengusahakan keluarnya benda-benda ini dari potensi menjadi aksi," katanya.
Begitu pula pengajaran berarti usaha untuk mengeluarkan benda-benda tersebut dari potensi menjadi akses, sehingga jiwa pembelajar akan menyerupai dan mendekati jiwa pengajar. Jadi, dalam menyampaikan ilmu, orang yang berilmu itu laksana orang yang menanam sementara orang yang belajar tak kalah mengambil manfaat itu seperti bumi. "Selain itu ilmu yang berbentuk potensi itu layaknya benih, dan ilmu yang menjadi aksi ibarat tumbuhan," katanya.
Imam Ghazali mengatakan, ketika jiwa pembelajar telah sempurna, maka laksana pohon yang berbuah atau mutiara yang muncul dari dasar laut. Jika potensi tubuh mendominasi jiwa, seorang pembelajar itu perlu belajar lebih banyak dan lama, serta menanggung kesulitan dan susah payah dalam mencari makna.
"Bila cahaya akan menguasai sifat-sifat indra, maka pelajar hanya butuh sedikit merenungkan tanpa banyak belajar," katanya.
Karena jiwa yang terbuka bisa memperoleh banyak makna dengan merenungkan sejenak. Hal yang tidak bisa diraih oleh jiwa yang dengan belajar selama setahun.
Dengan demikian sebagian orang memperoleh ilmu dengan cara belajar, dan sebagian lain dengan cara merenung, meskipun belajar tetap membutuhkan perenungan.
Selanjutnya, manusia tidak mampu mempelajari seluruh benda-benda partikular maupun universal serta segala macam objek yang di ketahui, melainkan perlu belajar tentang satu hal dan menggali sedikit ilmu dengan cara berpikir.
Kebanyakan ilmu teoritis dan temuan ilmiah digali jiwa para filsuf dengan kejernihan hati dan kekuatan pikiran serta ketajaman intuisi, tanpa perlu lebih banyak belajar dan mencari sekiranya bukan karena kemampuan manusia dalam menyimpulkan sesuatu dengan cara merenung berdasarkan apa yang ia ketahui, persoalan belajar tentu menjadi panjang.
"Dan tentu saja gelapnya kebodohan tidak akan sirna dari hati sebab jiwa tak mampu mempelajari segala perkara partikular maupun universal melalui belajar" katanya.
Akan tetapi sebagian diketahui melalui usaha, sebagian dengan cara melihat (berpikir), sebagaimana dia melihat kebiasaan manusia sebagian lagi dari didapat dari dalam nurani karena kejenuhan pikiran. Berdasarkan hal di atas, maka berlangsunglah tradisi para ulama, dan terbangun lah prinsip-prinsip ilmu.
Bahkan, seorang insinyur tak perlu mempelajari segala ilmu yang dia perlukan seumur hidupnya, tetapi cukup belajar perihal garis besar dan tema-tema ilmunya, dan dia pun dapat menggali dan menganalogikan dengan yang lain.
Demikian pula seorang dokter tidak mampu mempelajari detil-detil penyakit dan obat-obatan, namun cukup renungan tentang ilmu ilmu secara umum, lantas mengobati setiap orang sesuai karakternya masing-masing.
"Seorang astronom cukup mempelajari tentang perbintangan secara umum, lantas merenungkan dan membuat berbagai hukum yang berbeda-beda. Begitu pula para ahli fiqih maupun sastrawan," katanya.