Oleh : KH Dr Aguk Irawan, Khadim Pondok Pesantren Baitul Kilmah, Bantul Yogyakarta
Berlandaskan pada kaidah medis, maka kebijakan pemerintah menjadi produk hukum fikih saintifik-medis yang sah. Hal ini berdasarkan pada kaidah fikih yang menjadi landasannya adalah: ar-ridha bis syai ridha bi ma yatawalladu minhu (الرضا بالشيء رضا بما يتولد منه). Mengamini satu perkara berarti mengamini apa yang menjadi turunannya.
Para ulama yang kontra pemerintah tidak cukup mendasarkan pertimbangan fikih mereka hanya pada literasi teks keagamaan. Sebab, pemerintah juga mendasarkannya pada teks suci yang sama. Misalnya:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ أَنَّ عُمَرَ خَرَجَ إِلَى الشَّامِ فَلَمَّا جَاءَ سَرْغَ بَلَغَهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّامِ فَأَخْبَرَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ فَرَجَعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مِنْ سَرْغَ
“Dari Abdullah bin Amir bin Rabi‘ah, Umar bin Khattab RA menempuh perjalanan menuju Syam. Ketika sampai di Sargh, Umar mendapat kabar bahwa wabah sedang menimpa wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf mengatakan kepada Umar bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, ‘Bila kamu mendengar wabah di suatu daerah, maka kalian jangan memasukinya. Tetapi jika wabah terjadi wabah di daerah kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.’ Lalu Umar bin Khattab berbalik arah meninggalkan Sargh.” (HR Bukhari dan Muslim).
Para ulama yang kontra pemerintah dengan mengajak berkerumun di masjid maupun lapangan terbuka untuk mengerjakan sholat sunnah Idul Adha, cenderung pada pertimbangan teologis semata, yang kebenarannya adalah ranah keimanan. Ranah keimanan adalah ranah berbeda dari ranah medis.
Jika teologi dan medis ini dipisahkan maka akan ada split atau keterbelahan. Dunia medis akan memandang rendah keyakinan teologi sebagai irrasional. Sebaliknya, teologi yang sempit akan merendahkan pengetahuan Sains medis. Jika dipaksakan begitu maka akan lahir dimensi ketiga, yakni keraguan massif publik.
Menciptakan keraguan di ruang publik bukan tindakan yang dibenarkan oleh fikih. Sebab, keraguan publik dapat disarangkan pada kebijakan pemerintah sekaligus pada ajaran teologi sebagian kecil fuqaha.
Untuk itu, sebagai penutup tulisan, penulis ingin menyampaikan bahwa kedudukan pandemi Covid-19 dalam tinjauan ilmu fikih ini sebagai pra kondisi bagi hukum. Selain itu, wewenang sains medis jauh lebih otoritatif dibanding disiplin ilmu lain, semisal teologi. Karenanya, ilmu fikih harus didahulukan berpijak pada pertimbangan sains dari pada teologi. Wallahu a'lam bishawab.