Rabu 07 Jul 2021 16:34 WIB

PPKM Darurat dan Pembatasan Masjid dalam Tinjauan Fikih

PPKM Darurat berangkat dari argumentasi syariat yang kuat

Kendaraan melintas di dekat papan informasi penutupan jalan yang terpasang di kawasan Masjid Istiqlal, Jakarta, Jumat (22/1/2021). Penutupan Jalan Katedral mulai diterapkan dari tanggal 20 Januari hinggal 31 Maret 2021 akibat adanya pembangunan Terowongan Silaturahmi yang menghubungkan Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral.
Foto:

Oleh : KH Dr Aguk Irawan, Khadim Pondok Pesantren Baitul Kilmah, Bantul Yogyakarta

Keputusan Kemenag bukan lagi informasi tunggal. Pemerintah juga menerapkan PPKM. Lebih-lebih lembaga kesehatan dunia (WHO) melarang kerumunan.

Selain itu, Surat Edaran 13/2021 Kemenag juga berlandaskan pada kaidah fikih yang berbunyi: al-masyaqqah tajlibut taysir (المشقة تجلب التيسير). Jika ada sebuah situasi dan kondisi yang menimbulkan kemudharatan maka produk hukum diarahkan membawa kemudahan. Dengan kata lain, produk hukum fikih harus memberikan kemudahan selama ada masyaqqat yang mendahuluinya. 

PPKM Darurat dan Surat Edaran 13/2021 Kemenag, dalam konteks ilmu fikih, adalah produk hukum yang berorientasi menaati kaidah Ushululfiqh maupun kaidah fikih, yang salah satunya sejalan dengan pandangan World Health Organization (WHO) bahwa salah satu cara mencegah persebaran pandemi Covid-19 adalah menghindari kerumunan. 

PPKM Darurat dan Surat Edaran Kemenag juga bisa dinilai segi "politik". Terkait kebijakan politik pemerintah, kaidah fikih memberikan ruang kajian khusus. Salah satunya kaidah yang berbunyi: tasharruful imam 'alar ra'yah manuthun bil mashlahati (تصرف الامام علي الرعية منوط بالمصلحة). Artinya, kebijakan politik pemerintah terhadap rakyatnya dilandaskan pada pertimbangan kemaslahatan rakyat. 

Sayangnya, di alam demokrasi kontemporer, kebebasan berpendapat tidak bisa dibendung. Misalnya, ketika pemerintah menyerukan kebijakan PPKM Darurat dan peniadaan pelaksanaan Sholat Idul Adha1442 H di masjid maupun lapangan terbuka, ada ulama-ulama muslim yang kontra. Salah satu dalil mereka adalah kutipan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:  

إِنَّ اللهَ تَعَالَى إِذَا أَنْزَلَ عَاهَةً مِنَ السَّمَاءِ عَلَى أَهْلِ الأرْضِ صُرِفَتْ عَنْ عُمَّارِ الْمَسَاجِدِ. 

"Sesungguhnya apabila Allah ta'ala menurunkan penyakit dari langit kepada penduduk bumi maka Allah menjauhkan penyakit itu dari orang-orang yang meramaikan (memakmurkan) masjid." Hadits ini derajatnya adalah munkar, termasuk jenis hadits dhaif.  

Terlepas dari dalil-dalil yang dipakai para ulama yang kontra pemerintah berupa hadits dhaif/munkar, pandangan para ulama ini juga tidak mengatasi masalah, yang sejatinya jauh lebih penting ketimbang boleh atau tidaknya pergi ke masjid untuk sholat Idul Adha. Hal penting tersebut adalah hipotesa (zhann) yang dibangun WHO bahwa pandemi Covid-19 adalah berbahaya, yang mudah menyebar berkat kerumunan massa. 

WHO membangun hipotesis ini berdasarkan parameter sains medis, yang kemudian menjadi pertimbangan pemerintah Indonesia dalam melihat aspek mudharat sebelum mengeluarkan kebijakan PPKM Darurat maupun peniadaan sholat Idul Adha tahun ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement