Pada masa Rasulullah SAW, di Madinah terdapat beberapa suku yang menganut Yahudi, seperti Bani Qainuqa’, Bani al Nadhr, dan Bani Quraizhah.
Muhammad Izzah Darwazah dalam bukunya al-Yahudu fi al-Qur’an al-Karim menyatakan bahwa mereka digolongkan sebagai keturunan Bani Israil, bukan keturunan Arab asli.
Mereka mendiami wilayah khusus dan agak terpisah dari komunitas lain dan kesehariannya menuturkan bahasa Ibrani di antara mereka, dan juga piawai berbahasa Arab. Surat al Maidah ayat 82 menyebut demikian:
لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا “Pasti akan kamu dapati orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.”
Menurut Ustadz Syahrullah ayat ini dipahami sebagian mufasir secara general, mencakup semua Yahudi. Pendapat ini dibantah sebagian mufasir bahwa tidak semua Yahudi bersikap demikian kepada kaum Muslimin.
"Pada masa pewahyuan, terdapat kalangan Yahudi yang tidak memusuhi kaum beriman kendati mereka taat menjalankan agamanya. Demikian halnya dengan kata nashara pada ayat itu ditafsirkan sebagai Raja Najasyi.
Seorang penguasa beragama Nasrani yang memberi jaminan keamanan dan menyambut baik kaum Muslimin yang berhijrah ke wilayahnya. Tentu, terlalu gegabah jika menggeneralisasi cakupan ayat ini sehingga bersikap eksklusif dan tidak mengakui eksistensi Yahudi dan Nasrani," katanya
"Bukankah tercatat dalam Piagam Madinah betapa penganut agama lain juga hidup berdampingan dengan kaum Muslimin. Kita ingat bagaimana Rasulullah SAW memperlakukan secara adil Zaid ibn al Samin, seorang Yahudi, ketika beperkara dengan Thu’mah ibn Ubairiq, seorang Muslim. Peristiwa ini juga terkait dengan sebab turun Surat an Nisa ayat 105," kata Ustadz Syahrullah.
Dalam konflik Israel-Palestina menurutnya harus berpihak kepada kemanusiaan. Kezaliman tidak ditoleransi dalam kehidupan. Mestinya bukan agama yang jadi sorotan kita dalam konteks tersebut, melainkan kemanusiaan yang harus diutamakan.
"Ibarat tindak terorisme yang kebetulan (misalnya) pelakunya seorang Muslim, itu bukan berarti agama Islam adalah agama yang bernuansa terorisme. Terorisme bisa disematkan kepada siapa pun, tanpa harus dilabeli kepada agama tertentu jika tindakannya memang bernuansa teror. Kekerasan atas nama agama adalah musuh bersama umat manusia. Demikian halnya dengan kezaliman dan kebiadaban tidak boleh dibela," tuturnya.