Karena itulah tampuk kepemimpinan rumah tangga berada di tangan suami, sebagaimana firman Allah SWT (yang maknanya): Kaum laki-laki (para suami) adalah pemimpin bagi kaum wanita (para istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (para suami) telah menafkahkan sebagian harta mereka... (an-Nisa': 34).
KH Ahmad Zahro dalam Fiqih Kontemporer Buku 3 mengatakan, oleh karena itu, apabila istri mempunyai utang kemudian meninggal dunia, maka utang tersebut menjadi tanggung jawab suami karena umumnya apa pun yang dilakukan istri terkait belanja rumah tangga benar-benar untuk keperluan dan kebutuhan seluruh anggota keluarga. Berarti sebenarnya utang tersebut adalah tanggungan suami karena kebutuhan seluruh anggota keluarga menjadi tanggung jawab suami.
Oleh karena itu pula, jika istri meninggal dan meninggalkan utang sebagaimana tersebut di atas, maka sepenuhnya menjadi tanggungan dan tanggung jawab suami Akan lain halnya jika utang tersebut untuk keperluan di luar urusan rumah tangga, apalagi jika tanpa sepengetahuan suami, maka utang tersebut menjadi tanggungan istri secara pribadi.
Walaupun demikian, istri yang wafat tentu mempunyai harta peninggalan, setidaknya separuh harta yang ada (harta gono-gini, separuh dari harta bersama sesuai UU nomor 1/1974 tentang Perkawinan, pasal 35) yang menjadi harta warisan bagi ahli waris. Tetapi, sesuai ketentuan mawaris (tentang kewarisan), maka harta peninggalan belum boleh dibagi sebelum semua utang almarhumah terlunasi.
Bahkan jika harta peninggalan tersebut habis sedang utang almarhumah belum terlunasi, maka walaupun secara fiqih formal (hukum) semua ahli waris tidak berkewajiban melunasi utang tersebut, tetapi secara moral sebaiknya mereka melunasi utang itu secara patungan berimbang (sesuai perkiraan bagian masing-masing) agar almarhumah tidak merasakan beratnya risiko utang di alam kubur. Wallahu a'lam.